Okolan, Sambikereb, Surabaya
Gending Becek mengalun mengiringi satu persatu pemain okol naik ke arena pertarungan. Irama yang terdengar terasa membakar semangat dan keceriaan…
Gending Becek mengalun mengiringi satu persatu pemain okol naik ke arena pertarungan. Irama yang terdengar terasa membakar semangat dan keceriaan yang bersahaja di siang yang terik. Pemandu acara terus berkoar menggiring masyarakat sekitar untuk segera merapat, untuk menyaksikan ajang yang hanya dihelat setahun sekali itu.
Dari semula, ajang okolan mampu menarik perhatian banyak peserta tanding dan penonton dari berbagai daerah, terutama di sekitar kawasan Sambikereb. Di kelurahan, yang kabarnya memiliki area terluas di Kota Madya Surabaya ini, olahraga tradisional yang satu ini masih bisa dinikmati. Walaupun untuk menyaksikannya harus menunggu di rentang antara bulan September-Oktober.
Dengan bertelanjang dada, serta perlengkapan ala kadarnya para petarung ini berdiri menatap lawan. Mencermati setiap jengkal bagian tubuh masing-masing. Seakan membaca titik kelemahan musuh yang ada di hadapannya.
Saling berhadapan, berangkulan menggenggam selendang yang terikat di pinggang lawan. Dengan posisi seperti saling mendorong, menunggu aba-aba untuk mulai. Sebenarnya mereka tidak akan pernah ditarungkan satu sama lain, bila keduanya tidak sepadan.
Pesertanya selama ini adalah masyarakat umum, siapa saja yang berminat ikut tinggal mendaftar. Maka di arena nantinya oleh Pelandang (semacam wasit pertarungan) akan dicarikan lawan yang sebanding. “Sebanding dalam hal ini adalah ukuran besar dan tinggi badan, karena di sini adalah ajang unjuk kekuatan,” papar Sudjiantoko, warga setempat. Yang sering terjadi, biasanya bila lawan tidak sebanding maka lawan yang lain tidak mau bertarung. Dan mereka bisa memilih lawan lainnya yang sepadan dengannya.
Beberapa piranti yang digunakan dalam olahraga tradisional yang cukup ken tal di kalangan masyarakat Sambikereb ini adalah udeng, selendang, dan payung untuk petarung. Udeng harus dikenakan oleh peserta tanding sebagai tanda yang membedakan antara petarung dengan penonton. Selendang dilingkarkan dan diikat pada bagian pinggang petarung. Sementara payung sekedar sebagai simbal untuk menghormati para petarung yang hendak turun ke arena laga.
Bambu, tali (tampar), dan jerami digunakan di arena okol. Bambu sebagai penyangga batas dimana satu sama lain saling dihubungkan dengan tampar. Pembatas arena ini juga berfungsi sebagai pembatas penonton agar tidak masuk ke dalam arena olahraga yang meyerupai gulat itu. Jerami sebagai alas, sekaligus melindungi petarung dari cedera ketika dibanting.
Kalau masa dulu okolan ini biasa diselenggarakan di tanah lapang atau di sawah, atau pula di halaman rumah yang cukup luas. Setidaknya di lahan yang bisa menampung orang banyak, yang datang untuk menonton pertarungan gulat tradisional tersebut. Tetapi sekarang karena semakin terbatasnya lahan, dan agar para penonton bisa melihat dengan sempurna setiap pertarungan, maka okolan kini dilakukan di atas panggung yang dibuat membentuk arena.
Dan kelengkapan yang lain, seperti alas yang disiapkan dari bahan jerami. Menurut sumber Mossaik, sempat digunakan alas matras atau kasuran. Tetapi kemudian tidak dipakai lagi karena dianggap kurang pas. Mengingat ini olahraga tradisional, dan lebih pas bila menggunakan bahan yang alami yang mudah didapat di sekitar.
Dari tumpukan jerami tersebut, akan mengepul debu bila kejatuhan badan para petarung. Tak sedikit di antara para penonton harus menutup wajahnya untuk menghindari sergapan debu yang dibawa angin. Belum lagi rasa gatal di badan para pegulat, kala mereka harus berguling-guling di atasnya. Namun semua itu merupakan bagian yang mewarnai keceriaan dalam menyaksikan okolan.
Peralatan lain yang melengkapi adalah gamelan untuk mengiringi pertarungan. Alat musik tradisional ini dimainkan menjelang pertarungan dimulai. Tujuannya adalah untuk memberi semangat. Jenis gending yang dimainkan adalah gending becek.
Sebagai salah satu rangkaian dari upacara adat, okolan mempunyai tujuan umum sebagai ajang silaturahmi dan persahabatan di antara masyarakat. Hanya sekedar hiburan, namun mampu hadirkan kebersamaan.
Dulu & Sekarang
Tak ada yang bisa menceritakan sejak kapan jenis olahraga ini muncul. Pengakuan Sudjiantoko, okolan sudah ada sejak dulu, bahkan di masa jauh sebelum orang tuanya, sudah ada okolan. Jadi sejak kapan okolan itu ada dia sendiri tidak dapat menyebutkan dengan jelas.
Sudjiantoko sendiri tidak pernah ikut bertarung dalam okolan, karena dari kecil dia merasa tidak punya keberanian, selain badanya yang memang kecil masa itu. Namun demikian, kini dia memberikan perhatiannya terhadap setiap kegiatan adat di kampungnya itu. terlebih setelah dia ditunjuk sebagai salah satu pengurus rukun warga, seksi rohani.
“Kalau okolan dulu seperti yang saya ingat, tampak seperti sungguhan. Istilahnya seperti musuhan sungguhan,” tutur bapak dua anak ini lagi. Mereka akan benar-benar seperti menghadapi musuh bila berada di arena. Tapi begitu mereka turun, sudah seperti teman kembali. Berbeda dengan sekarang, yang cenderung lebih menonjol faktor hiburannya. Namun demikian dari awal olahraga ini juga merupakan media hiburan di masyarakat. Menurut kisah Sudjiantoko pada mulanya okolan memang merupakan hiburan di kalangan para petani setempat, setelah mereka mendapat anugerah berlimpah pada hasil panen mereka di suatu musim.
“Prinsipnya okol dulu dan sekarang tidak banyak berubah. Sedikit yang membedakan kalau dulu para pegulatnya besar-besar. Tapi sekarang sudah mulai dikenalkan pada anak-anak dan remaja, sementara yang tua-tua sudah tidak ikut lagi, mungkin karena isin (malu, Red) ,” urainya. Berarti dalam perkembangannya petarung yang tertarik mulai beragam, dengan motivasinya masing-masing.
Kalau dulu, ajang okolan ini bisa menjadi arena untuk saling unjuk kekuatan tubuh dari seseorang. Untuk memberikan kebanggaan pada diri masing-masing, bahwa dirinya kuat. Dan bukan tidak mungkin, kalau jaman dulu akan pula tumbuh dendam untuk saling mengalahkan di kesempatan-kesempatan yang lain.
Pada penyelenggaraan okolan yang sekarang hal-hal demikian mulai dieliminir, pada penyelenggaraannya kini mulai ditetapkan beberapa aturan. Sehingga kemungkinan-kemungkinan negatif bisa dihindari, sekaligus untuk menambah daya tarik dari olahraga tradisi ini sendiri.
“Kalau pada masa silam, biasanya beberapa dusun memiliki pegulat-pegulat andalan,” sergah Sudjiantoko diselai tawa kecil. Mungkin sekarang juga masih, tapi mereka lebih suka membawa nama sendiri-sendiri. Sebab mereka ikut okolan pun biasanya sekedar iseng atau turut meramaikan suasana.
Olahraga tradisional okolan ini dilaksanakan serangkaian dengan penyelenggaraan sedekah bumi, atau istilah masyarakat setempat tegal deso. Acara ini semacam syukuran kepada Tuhan atas karunia yang telah diberikan dalam bentuk hasil bumi. Dan salah satu bentuk hiburannya adalah dengan olahraga tradisional Okolan ini.
Olahraga tradisional ini memang lebih dikenal di sekitar Kecamatan Sambikereb, Kodya Surabaya. Beberapa dusun di daerah tersebut seperti Sambikereb, Bungkal, dan Kalijaran diantaranya yang rutin menggelar sebagai acara adat setiap tahun. Sayangnya okolan hanya bisa dinikmati ketika ada acara sedekah bumi. “Tidak ada sedekah bumi, tidak ada okolan,” tegasnya.
Dalam setiap penyelenggaraan okolan biasanya juga akan disertai pengamanan, biasanya dari Hansip. Hal ini untuk mengantisipasi setiap kemungkinan, mengingat tidak jarang juga memantik emosi dari petarung. Selain itu juga menjaga segala kemungkinan mengingat area tersebut akan dipenuhi orang.
Masyarakat Sambikereb ternyata tidak ingin tradisinya lenyap begitu saja. Oengan terus menyelenggarakan upacara adat sedekah bumi itu, merupakan upaya menjaga kelestariannya. Demikian halnya dengan okolan.
Dengan dilibatkannya anak-anak di olahraga tradisional okolan ini, setidaknya juga merupakan sentuhan pelestarian terhadap olahraga ini. Upaya masyarakat setempat untuk melestarikan ini, salah satunya dalam setiap penyelenggaraan tradisi sedekah bumi, akan ditampilkan pula okolan. Usaha lain seperti mengirimkan duta untuk ajang festival budaya tradisional tingkat Surabaya. “Olahraga okolan kini sudah melibatkan anak-anak,” ujar Sudjiantoko, yaitu mulai usia SD dan SMP.
Warga setempat menganggap olahraga ini harus dilestrarikan, karena merupakan warisan tradisi. “Okolan dulu diselenggarakan setelah panen. Tetapi karena sekarang sawahnya sudah tidak ada, maka dilaksanakan setiap tahun, antara bulan 9 atau 10,” tutur Moch. Djuri, Ketua RW IV, Kelurahan Sambikereb.
Di samping itu juga merupakan luapan rasa sukur, melalui sedekah bumi. Dan hiburannya dengan okolan, ludruk dan tayuban. Okol dulu dan sekarang tidak ada yang berbeda. Ini merupakan tradisi yang sudah kental bagi tak kurang dari 600 kepala keluarga di daerah tersebut.
Okol tidak sekedar berkelahi, seperti makna katanya yang berasal dari bahasa Jawa. Okolan lebih pada sebuah ungkapan kegembiraan, atas segala karunia Tuhan. Karenanya dengan ditampilkan okolan, diharapkan mampu memberikan hiburan bagi masyarakat. Terutama setelah mereka bekerja keras hingga sukses di sawah ladang mereka. Dan kegembiraan itu pun tampak dari wajah para pemenang. Beberapa bocah kecil yang pula sukses menghempaskan lawan tandingnya, berjingkrak gembira. Senyum senang juga terpancar di wajah para penonton.
Di antara hiruk-pikuk kota dan gemerlap sinar lampu Surabaya. Di selanya tersimpan khasanah tradisi yang indah untuk terus dijaga agar lestari. Rangkaian perhelatan adat yang masih ada harus dijaga sebagai kekayaan budaya. Olahraga tradisional yang merupakan embrio dari semua cabang olahraga modem, kenapa tidak pula kita pup uk dan bina. Hingga suatu saat kelak mampu pula mendunia. mi az alim
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Mossaik, oktober 2005, hlm. 98