Thursday, November 14, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Makam Agung, Makam Raja-Raja Bangkalan

Dibanding makam Aermata di Arosbaya, Makam Agung masih kurang populer. Padahal, di Makam Agung inilah Raja Pragalba dan Raja  Pratanu,…

By Pusaka Jawatimuran , in Bangkalan Wisata Wisata Relegi , at 09/05/2012 Tag: , , , , , , , ,

Dibanding makam Aermata di Arosbaya, Makam Agung masih kurang populer. Padahal, di Makam Agung inilah Raja Pragalba dan Raja  Pratanu, eyang dan kakek Cakraningrat dimakamkan

Makam Agung menjadi nama sebuah desa di Kecamatan Arosbaya,  Bangkalan. Sebenarnya nama Arosbaya sendiri, pada masa pra Islam di Madura Barat, adalah sebuah nama kerajaan yang didirikan oleh Panembahan Pragalba (abad 16), yang kemudian diislamkan oleh anaknya yang bernama Pangeran Pratanu atau Penambahan Lemah Duwur.

Pragalba masuk Islam di saat menjelang ajalnya. Ketika dituntut membaca syahadat oleh Pratanu, Pragalba menganggukkan kepalanya. Karena itulah kemudian Pragalba juga dikenal sebagai Pangeran Ongguk (angguk atau mengangguk). Dan Islam di Arosbaya, saat itu juga disebut dengan Islam ongguk.

Raja Arosbaya yang berkedudukan di Plakaran kemudian dimakamkan di sebuah komplek pemakaman yang letaknya di sebelah selatan Plakaran, atau sekitar 60 km dari kota Bangkalan. Makam Pangeran Pragalba tersebut disebut dengan Makam Agung.
Di masa pemerintahan Lemah Duwur inilah kerajaan Arosbaya terus meluaskan pengaruh Islamnya ke kerajaan-kerajaan di Sampang dan Blega, bahkan meluas hampir mencapai seluruh Madura.

Dalam catatan Raffles (Raffles, 1817) dikatakan bahwa pada masa itu Lemah Duwur adalah raja yang memegang peranan penting. Bahkan Raffles menyatakan bahwa Lemah Duwur adalah raja paling penting di Jawa Timur. Pasalnya, karena Lemah Duwur dinilai telah berhasil mengembangkan kerajaan Arosbaya menjadi kerajaan yang berperan penting dalam pelayaran, niaga, dan politik di Madura dan Jawa. Pada tahun 1592, Lemah Duwur mangkat. Dia meninggal di Arosbaya dan dikebumikan di komplek Makam Agung. Setelah wafat kekuasaan Lemah Duwur diteruskan adiknya, Pangeran Tengah, yang tak lain ayah Cakraningrat I.

Arsitektur Hindu
Untuk memasuki komplek Makam Agung, makam pendiri kerajaan Madura Barat tersebut, haruslah melewati dua pintu gerbang berbahan batu padas kuning dari sebuah bukit Desa Buduran. Bentuk gerbangnya sangat sederhana, tanpa ukiran. Namun, pada gerbang kedua, yaitu gerbang untuk menuju makam Pragalba, Pratanu dan Raden Koro, ukiran di pintu gerbang sangat kental sekali nafas Hindunya. Meski saat meninggalnya dan dimakamkannya Pragalba dalam keadaan sudah Islam, namun arsitektur komplek pemakamannya di Makam Agung tetap berarsitektur Hindu.

Sisa kemegahan dan kekokohan komplek Makam Agung tersebut masih tampak, meski beberapa bagian pagar dan makam sudah rusak dimakan lumut dan usia. Batu padas kuning sudah berubah wama hijau kehitaman. Pohon tanjung yang berada di makam Pratanu, meski masih berdaun dan berbunga, batang pohonnya banyak yang keropos, menandakan tuanya usia pohon dengan bau bunga yang khas tersebut. Atmosfir di komplek pemakaman raja-raja Madura Barat tersebut memang berbeda. Nuansa mistik dan sakral sangat terasa. Tak mengherankan jika masih banyak masyarakat sekitar dan masyarakat di Madura melakukan ziarah di makam pendiri kerajaan Islam pertama di Madura Barat tersebut. Beberapa hal yang tetjadi di Makam Agung, masih dipercaya membawa pertanda akan adanya kejadian luar biasa.

Pisang Agung
Salah satu pertanda yang paling dipercaya oleh masyarakat sekitar Makam Agung adalah munculnya pohon pisang, yang mereka sebut dengan geddang agung (pisang agung). Oleh masyarakat Madura, pohon pisang tersebut disebut dengan geddang bigih (Pisang biji), yaitu pisang yang di dalam buahnya berbiji. Jika buahnya masih muda, oleh masyarakat madura digunakan untuk campuran bumbu rujak. Namun, pohon dan buah pisang agung tak seperti pohon geddang bigih biasa.

Menurut Sujak, juru kunci Makam Agung, yang sudah beberapa kali melihat pemunculan pisang agung tersebut, batang pohon pisang agung jauh lebih besar dan lebih tinggi dari pohon pisang biasa. Pelepah daunnya bisa sebesar lengan orang dewasa, dengan lembar daun yang sangat lebar.

Munculnya pisang agung bisa menjadi pertanda. Jika muncul, masyarakat sekitar akan terus melakukan doa dan tirakat di Makam Agung. Mereka mengharap, pemunculan pisang agung tidak  membawa pertanda buruk. Selain itu masyarakat juga akan menunggu matangnya buah pisang agung. Jika matang, masyarakat akan berebut untuk mendapatkan buah pisang agung. Mereka percaya, biji buah pisang agung, jika diuntai menjadi tasbih, akan membawa kemustajaban dalam doa dan dzikir.

Tetapi, dalam sejarahnya pemunculannya, pisang agung tersebut hanya berbuah satu kali. Dalam pemunculannya yang lain, tidak pernah berbuah. Sujak mencatat, pisang agung muncul hingga berbuah, menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, saat pemberontakan Gestapo (1965), menjelang jatuhnya Presiden Soekarno (1966) pisang agung juga muncul, tahun 1996 muncul dan menjelang lengsernya Soeharto, 1998, kembali muncul. Lalu tahun 2004, ketika pemilihan presiden, muncul. Pemunculannya hanya sesaat, lalu kemudian hilang.

Sujak menceritakan, pisang agung muncul di tempat yang tidak tetap. Dan, setiap pemunculannya, selalu sudah dalam keadaan setinggi paha orang dewasa. Tahu-tahu muncul begitu saja. Letak mata angin munculnya pisang agung, juga dijadikan tanda di mana akan terjadi sebuah kejadian luar biasa tersebut. Jika pisang agung muncul, tumbuh, hingga berbuah, berarti sebuah kejadian luar biasa terjadi. Tetapi, jika pisang agung muncul tetapi untuk kemudian hilang begitu saja, kejadian tersebut tidak begitu luar biasa. (bud)

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Teropong. Edisi 23, September – Oktober 2005, hlm.  44

Comments


Leave a Reply