Thursday, October 10, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Batik Sumenep

Batik Sumenep Pak Zaini, Lebih Utamakan Kualitas  LAPORAN: ABI DAM DJUPRI MADURA selalu identik dengan garam atau karapan sapi. Padahal,…

By Pusaka Jawatimuran , in Kesenian Sentra Sumenep , at 04/05/2012 Tag: , , , , , ,

Batik Sumenep Pak Zaini, Lebih Utamakan Kualitas

 LAPORAN: ABI DAM DJUPRI

MADURA selalu identik dengan garam atau karapan sapi. Padahal, kepulauan berpenduduk 3,6 juta jiwa itu juga memiliki kekayaan yang diwariskan turun-temurun berupa keterampilan membatik yang menghasilkan karya seni yang punya cita rasa tinggi. Batik Madura memang memiliki daya pikat tersendiri, antara lain pada pewarnaannya yang tajam atau lebih dikenal dengan istilah ngejreng. Dalam selembar kain, misalnya, bisa muncul wama yang kontras, yang tidak mungkin ditemukan pada kain batik pedalaman ataupun pesisiran di Jawa.

Keberadaan Kabupaten Sumenep dikatakan sebagai benteng budaya Madura, hal ini bisa kita lihat dari sisa-sisa kebesaran kerajinan Sumenep  yang berjejak pada sejumlah bangunan-bangunan kuno dan kerajinan rakyat. Salah satunya adalah kerajinan batik tulis “Melati” milik A Zaini, Desa Pakandangan Barat, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep. Ketika tim Sarekda bertandang ke rumahnya, pria 57 tahun ini memamerkan batik jagad asmara dan batik ayam uling. “Dua motif ini akan saya ikutkan dalam lomba desain batik di Surabaya,” kata Pak Zaini, panggilan akrab A Zaini.

Motif batik jagad asmara, menurutnya, dibuat berdasar pada perpaduan motif antara sekar jagad burung asmara dan abstrak yang berbahan kain primisima kereta kencana. Zat pewarna yang digunakan sintetis, cocok untuk baju pria. “Sedangkan batik ayam uling perpaduan motif ayam uling dan motif abstrak dengan bahan kain primisima tari kupu tiga bendera. Motif yang menggunakan zat perwama sintetis ini bisa digunakan pria maupun perempuan,” kata Pak Zaini yang mempunyai 41 tenaga kerja ini.

Diceritakan, batik Madura tumbuh seiring perkembangan kerajaan Sumenep pada abad ke 17 sampai dengan abad 18M. Kerajaan Sumenep berakhir pada 1926-1929 di bawah kekuasaan Ario Prabuwinoko. Setelah itu pemerintahan Sumenep dipinpin oleh seorang bupati. Perpindahan administrasi dari kerajaan menjadi kabupaten tidak berpengaruh terhadap keberadaan batik tulis Sumenep. Sekitar tahun 1960-1965 hampir semua pembatik terutama di Desa Pekandangan Barat Kecamatan Bluto ini tidak lagi berproduksi. Hal ini disebabkan oleh adanya resesi ekonomi yang melanda negara. Pada tahun 1970 pembatik mulai aktif kembali.

“Pada saat itu say a yang sangat peduIi dengan batik tulis Sumenep dan meneruskan us aha orangtua. Pada tahun 1979 saya mengajukan proposal pada dinas perindustrian di Sumenep. Alhamdulillah ada tanggapan dengan diadakan pelatihan batik tulis halus dengan instruktur pertama kali dari Jogjakarta. Pelatihan berlanjut tahun 1984 dengan instruktur dari Solo. Tahun 1991 saya mengajukan pelatihan uji coba batik sutra ke PT Garam dan berhasil,” ujamya.

Setelah usaha batiknya berkembang, hampir dipastikan tidak ada kendala dalam pemasarannya. “Alhamdulillah saya gak capek-capek harus memasarkan ke luar daerah, tapi cukup menunggu di rumah saja. ltu terjadi karena saya sering ikut pameran ke Surabaya, Malang, Jogja, Solo, Makassar, Jakarta, Batam dan lain-lain. Memang, awal-awalnya sangat susah mencari pasar, tapi begitu ikut pameran semuanya menjadi mudah. Konsumen langsung datang ke rumah. ltu sebabnya moto saya, setiap orang yang datang ke sini pulang harus membawa batik,” jelasnya Dijelaskan, batik Madura pada umumnya mulai dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan sampai Sumenep tak pemah melupakan wama merah.

Tapi, kalau dari segi motif khusus Sumenep adalah lebih banyak dipengaruhi motif ayam. “Sebagai pengusaha batik masak saya harus membuat motif ayam terus, itu tidak mungkinlah. Motif, kada saya membuat sendri mengikuti selera pasar, misalnya motif ayam tapi saya putar menjadi ayam uling yang dikombinasi dengan goresan model abstrak,” kata dia. Di desa Pak Zaini tinggal setidaknya ada 150 perajin batik tulis. Cuma, katanya, mereka masih terpola dengan motif batik lama, yaitu motif ayam saja tanpa modifikasi.

Mereka tidak mengikuti perkembangan atau mengikuti selera pasar walau sudah diajak maju bersama. “Terus terang batik tulis halus yang seperti punya saya memang membutuhkan ketelatenan, waktu dan biaya operasional tinggi. Sampai saat ini saya punya 41 tenaga kerja, rinciannya di luar 35 orang dan di dalam 6 orang. Prosesnya, motif dan kain dari saya kemudian mereka yang mengerjakan yang tentu saja mereka semua sudah mengikuti pelatihan,” tambah Pak Zaini.

Bercita-cita mengekspor hasil produksi batiknya ke luar negeri memang pernah terlintas di benaknya. Namun Pak Zaini belum bisa merealisasikan kapan itu bisa terwujud. “Walau belum bisa ekspor ke luar negeri, tapi ada juga sih orang luar negeri yang datang ke gerai kami. Misalnya, belum lama ini ada orang Jepang yang membeli batik-batik saya. Mereka memborong sekitar 50 lembar batik tulis halus. Bahkan turis dari Australia, Italia dan Amerika juga dtang dan lebih senang dengan batik tulis halus berbahan kain katun biasa. Mereka tidak mau batik berbahan kain sutera. Padahal membatik di kain sutera lebih sulit karena kainnya liein, lemas dan ongkosnya lebih mahal.

ltu sebabnya harga jual batik sutera juga lebih mahal, misal satu lembar batik sutera harganya sampai Rp 450 ribu,” kata Pak Zaini yang sudah menyiapkan dua anaknya. Anak pertamanya disiapkan meneruskan usaha ba:tiknya, sedang anak keduanya yang sekarang berada di Jakarta sebagai dedesainer. Pak Zaini dalam satu bulan bisa menghasilkan batik sutera sekitar 25 lembar semen tara yang primisima (berbahan katun bagus) sekitar 50 lembar. “Terus terang dalam berproduksi saya lebih mengutamakan kualitas. Dalam penyelesaian pun saya tidak mau para pekerja ditekan sehingga mereka bekerja terburu-buru.

Saya khawatir akan berpengaruh dengan kualitas hasilnya. ltu sebanya saya lebih menjaga kualitas, karena harapan saya konsumen yang pernah ke sini suatu saat akan kembali lagi ke sini. Ini jangka panjangnya,” kata Pak Zaini yang bercita-cita ingin menampung para pekerjanya menjadi satu di suatu tempat seperti yang pernah dilihat di Pekalongan. Bahkan, ia sudah pernah dijanjikan modal PT Semen Gresik, tapi syaratnya harus punya show room di tepi jalan raya.

Masa-masa jaya juga pernah dialami Pak Zaini ketika ada Musabaqoh Tilawati Quran (MTQ) Tingkat Provinsi Jawa Timur yang dipusatkan di Sumenep sekitar tiga tahun lalu. “Saya benar-benar kesulitan mencari bahan bakunya, karena seragam panitia dan peserta pesan kepada saya. Kalau tidak salah waktu itu panitia pesan sera gam sekitar 340 potong. Alhamdulillah, saya akhirnya bisa menemukan bahan batik Brotoseno di Jawa Tengah,” urainya.

Soal proses pembuatan batik halus, Pak Zaini dengan senang hati meneeritakan secara rinei mulai awal sampai akhir. “Pertama kali kain yang sudah ada dipotong-potong sesuai dengan keinginan kemudian digedel.  Apa itu digedel?  Sebetulnya air  apu yang sudah direndam dalam satu malam dengan minyak nyamplong atau minyak kacang.

Kemudian dikemplong atau dikueek-kueek selama tiga hari kemudian dicuci bersih dan siap dibatik. Setelah dilukis baru direng-reng pakai canthing dengan malam yang dijalankan pada kain yang sudah dirnal. Kemudian diwarnai, boleh warna kirnia atau alarni. Usai proses reng-reng, barn kain dieelup berlanjut pada pengeringan barn ditutup. Lalu pewarnaan tahap kedua, dikeringkan lagi dan ditutup lagi.

Proses ini dirnaksudkan agar tidak bisa dirnasuki warna ketiga, karena ditutup dengan malam. Proses terakhir pewarnaan yang tergantung selera, mau diberi warna eoklat, merah, hijau terserah. Setelah itu dilorot, untuk menghilangkan malam. Caranya, kain yang sudah dibatik tadi dimasukkan pada air mendidih kemudian diangkatangkat. Begitu malam habis setelah diangkat-angkat, kini tinggal warna yang diinginkan kemudian dicuci bersih. Kemudian siap dijual,” jelasnya panjang lebar. –ryan

SAREKDA Jawa Timur 1 edisi: 00912010