Tlogo Pasir, Legenda Sarangan
Konon, cerita bermula dari seorang pujangga Ki Pasir dan isterinya, Nyi Pasir. Ki Armosentono atau juga dipanggil Dimon, sesepuh desa…
Konon, cerita bermula dari seorang pujangga Ki Pasir dan isterinya, Nyi Pasir. Ki Armosentono atau juga dipanggil Dimon, sesepuh desa Sarangan, dianggap paling tahu tentang sejarah babat tanah Jawa, terutama yang berkaitan dengan legenda Telaga Pasir Sarangan. Dengan logat yang kental Jawa Tengahan, Ki Atmo berusaha meluruskan sebutan orang yang salah kaprah terhadap telaga di kaki Gunung Lawu itu.
“Selama ini orang menyebut telaga ini Telaga Sarangan. Pada hal yang benar adalah Tlogo Pasir. Saya perlu meluruskan karena saya tidak ingin nilai cerita mengenai telaga ini menjadi terhapus dari ingatan anak cucu nanti,” tandasnya. Menurutnya, keberadaan telaga ini tidak bisa dilepaskan dari legenda Ki dan Nyi Pasir, dua orang yang memulai hidup dan babat alas di daerah yang kini disebut Sarangan.
Melengkapi pemahaman akan cerita itu, Ki Atmo bahkan rela menjelajah berbagai perpustakaan di Jawa Tengah hingga ke Perpustakaan Nasional di Jakarta, untuk mendapatkan kisah lengkapnya. Buku-buku tentang babat tanah Jawa dibacanya hingga habis. Dan kisah singkat tentang legenda Tlogo Pasir dituturkan kepada Mossaik sebagai berikut.
Di jaman Kerajaan Pengging, hidup seorang pujangga kenamaan, Ki Pasir namanya. Ketika pecah perang antara Pengging dan Mataram, keduanya di Jawa Tengah, Ki Pasir dan isterinya, Nyi Pasir, keluar dari Pengging karena tidak ingin terkena ekses peperangan. Kemudian keduanya menuju ke Jowo Wetan (Jawa Timur). Begitu perjalanan sampai di daerah Surakarta, di tepi bengawan solo, bertemu dengan bocah laki-laki berumur sekitar 10 tahun.
Bocah yang tak punya tempat tinggal dan orang tua itu diambil sebagai anak angkat Ki dan Nyi Pasir. Bocah itu kemudian diberi nama Joko Lilung. Mereka bertiga kemudian meneruskan perjalanan dan sampai di hutang Gunung Lawu. Ki Pasir memilih sebuah tempat di lereng gunung sebelah timur, untuk mendirikan pondok sebagai tempat berlindung.
Pondok itu dibuat dari kayu hutan dan beratapkan dedaunan. Dengan pondok yang sangat sederhana ini keduanya sudah merasa aman dari marabahaya. Namun, Joko Lilung sendiri tak pernah ikut berada di rumah. Sejak kecil, Joko Lilung dikenal sebagai anak yang suka berkelana dan bersemedi. Hanya sesekali dia mampir ke rumah, dan kemudian pergi lagi entah ke mana.
Hari-hari Ki Pasir banyak digunakan untuk membuka lahan dan bercocok tanam di sekitar pondoknya di lereng gunung Lawu. Hingga suatu hari, kejadian aneh menimpanya. Saat hendak berladang, dia menemukan dua buah telur. Tak tahu entah telur binatang apa. Diamat-amatinya telur itu sejenak sambil bertanya di dalam hatinya, telur apa gerangan yang ditemukan itu. Pada hal di sekitarnya tidak tampak binatang unggas seekor pun yang biasa bertelur.
Ki Pasir pun mengambil dan merebusnya sebuah, dan satunya lagi ditimbun dengan tanah. Telur rebus itu kemudian dibelah jadi dua. Sebuah di makan Ki Pasir, dan yang satu lagi disimpan untuk nantinya diberikan kepada Nyi Pasir bila datang mengirim makanan. Anehnya, sehabis memakan telur itu, Ki Pasir merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Tubuhnya merasakan kepanasan dan merasa gatal tidak karuan. Ki Pasir pun mencari tempat di sebuah sumber, di bagian barat telaga yang sekarang. Di situ, Ki Pasir berendam untuk menghilangkan rasa panas dan gatal yang dideritanya. Namun, lama ia tak kunjung beranjak dari situ.
Nyi Pasir yang bendak mengirim makanan untuknya, tak menemukannya di ladang. Hingga diketahui kalau suaminya berendam di sumber itu. Nyi Pasir memanggilnya untuk segera makan, tapi Ki Pasir tetap tak bergeming. Malah isterinya disuruh makan dulu dengan lauk separuh telur yang direbusnya tadi. Nyi Pasir pun makan lebih dulu. Namun, kejadian aneh juga menimpanya sebagaimana menimpa suaminya. Tubuhnya merasa panas dan gatal tak keruan. Ia pun ikut berendam di sumber di samping Ki Pasir.
Lama-kelamaan derita kedua suami-isteri itu tak kunjung sembuh, bahkan malah makin menjadi. Sesaat mereka saling pandang, dan betapa kagetnya mereka berdua. Ternyata wajah keduanya tak lagi berujud manusia, tapi seekor naga. Keduanya marah dan mengeliat-geliat, menyibak-nyibakkan tubuhnya ke sana-kemari. Gunung pun hendak digempur, pohon-pohon dirobohkan. Tiba-tiba Ki Pasir mendengar suara yang memerintahkannya untuk segera bertaubat. Sejenak kemudian keduanya menghantarkan doa agar diberi maaf Yang Maha Kuasa. Namun, tak urung, sekitar sumber yang menjadi arena pelampiasan kemarahan berubah menjadi kubangan besar, menjadi telaga.
Cerita pun bergulir, dan disitulah keduanya mukso, meninggal tanpa ada jasad, menghadap Yang Maha Kuasa tanpa meninggalkan bekas. Joko Lilung pun kehilangan jejak kedua orang tua angkatnya. Dicari di rumah, di ladang, di mana-mana tapi tak menemukan keduanya. Hingga suatu ketika, saat dia bersemedi di tepi telaga, dia mendapat wangsit. Setelah mendapat wangsit itu, Joko Lilung menjadi jelas bahwa orang tuanya telah mengalami kejadian aneh dan sekarang sudah tidak bisa menemuinya lagi. Bahkan, Ki Pasir dalam wangsitnya memberi pesan, agar telaga itu diberi nama Telaga Pasir.
Pesan berikutnya memberi tugas kepadanya agar pada setiap malam Jumat Pon, bulan Ruwah menghadiahkan sesaji di Telaga Pasir. Pesan ketiga, Joko Lilung disuruh mencari telur yang ditimbunnya di ladang pada waktu lalu. Ki Pasir ingin tahu, telur binatang apa sebenarnya, sehingga membuat keduanya berubah menjadi naga. Joko Lilling segera mencari telur yang dimaksud Ki Pasir. Namun, betapa kagetnya, telur yang disimpan Ki Pasir itu pecah dan muncul seekor ular.
Ular itu kemudian makin membesar tubuhnya menjadi seekor naga. Oleh Joko Lilung si naga yang bisa berbicara itu dijadikan saudara. Naga itu lalu berpindah tempat di Telaga Ngebel, Ponorogo. Sementara Joko Lilung yang kemudian dijuluki Ki Jalilung, mukso di Telaga Pasir, setelah pesan-pesan Ki Pasir sudah disebarkan kepada orang-orang yang satu-persatu mulai mendiami kawasan Sarangan. mi husnul m
mossaik; november 2005