Gunung Kelud: Legenda
Si Kepala Lembu dan Tangan Setan, Seperti Gunung Bromo dan Tangkuban Perahu, Gunung Kelud juga menyimpan cerita rakyat dan legenda…
Si Kepala Lembu dan Tangan Setan, Seperti Gunung Bromo dan Tangkuban Perahu, Gunung Kelud juga menyimpan cerita rakyat dan legenda yang mengakar.
Menurut sumber, di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, letusan Gunung Kelud dipahami sebagai amarah dari Raden Lembusuro atau Raden Wimba yang dikubur hidup-hidup di sumur (kawah) Kelud. Dikisahkan, ketika Raja Brawijaya berkuasa di Majapahit, ia memiliki putri yang cantik jelita, Dyah Ayu Pusparini.
Lembusuro yang mendengar kecantikan sang putri, langsung datang meminang. Syarat Brawijaya untuk merentangkan busur Kyai Garodayaksa dan mengangkat gong Kyai Sekar delima bisa dijalani dengan mudah. Kenyataan ini membuat Dyah Ayu merasa sedih dan ketakutan. Ia sedih karena sosok Lembusuro yang berkepala lembu, dan takut karena menyadari kesaktian Lembusuro yang luar biasa.
Akhirnya, keluarga Brawijaya mengatur strategi untuk menggagalkan mimpi Lembusuro. Lewat emban Dyah Ayu yang setia, disampaikanlah syarat terakhir sebagai penyempurna jembatan pernikahan Lembusuro dan putri raja. Syarat itu adalah, Lembusuro harus bisa membuat sebuah sumur di puncak Gunung Kelud. Secara akal, sesakti-saktinya orang, tak akan ada yang mampu melakukannya.
Namun apa daya, Lembusuro yang digdaya tak surut melangkah. Ia berjalan ke puncak Kelud dan mulai menggali sumur. Dari para mata-mata, Brawaijaya tahu, Lembusuro mengerahkan pasukan jin untuk menggali sumur. Sehingga, Sang Raja menyuruh para perwiranya agar mengubur Lembusuro yang kini sedang berada di dasar sumur.
Alam gelap gulita, menyambut Lembusuro yang murka karena dikhianati. Ia terkubur dalam kawah Gunung Kelud. Namun karena kesaktiannya, ia masih bisa lantang mengutuk Brawijaya. Setiap dua windu, Lembusuro akan menghancurkan tanah kerajaan Brawijaya.
Kemarahan inilah yang menjadi letusan Kelud. Brawijaya yang merasa tertantang untuk melindungi rakyatnya, meminta rakyatnya agar mau membuat bendungan atau tanggul sebagai pengaman. Tanggul inilah yang dikenal orang sebagai Gunung Pegat. Namun apa boleh buat, kekuatan Lembusuro tetap tak tertandingi. Dalam beberapa tahun, ia tetap meluapkan amarahnya. Gunung Kelud meletus.
Sosok Lembusuro, dalam legenda yang lain disebut-sebut sebagai anak bangsawan yang suka bertindak ugal-ugalan dan berandalan. Setiap hari, ia suka membuat onar sehingga orang tuanya malu dan mengutuk dia jadi lelaki berkepala lembu. Dalam mitologi Ramayana, tokoh ini juga disebut sebagai representasi raksasa pengganggu ketertiban. Bersama Maesasura, kakaknya, Raja Gua Kiskendha, ia mendatangi Kahyangan dan meminta para dewa untuk menyerahkan Dewi Tara agar bisa dipersunting Prabu Maesasura.
Di desa-desa terpencil di Kabupaten Kediri, legenda ini kerap di gunakan sebagai bahan ancaman buat anak yang nakal. Jika ada anak yang sulit diatur, orang tuanya akan bilang, “Kalau kamu tetap kurang ajar, kamu bisa jadi Lembusuro, lho”.
Sayang, nasehat ini tak pernah mampir di telinga para pengunjung Danau Kawah Gunung Kelud yang kadang bersikap kurang ajar. Di sepanjang jalan menuju Kawah Kelud, seperti di batu-batu besar, banyak coretan tangan pengunjung yang seolah ingin pamer bahwa ia atau mereka pernah bertandang ke Gunung Kelud.
Ironisnya, diantara beberapa grafiti itu ada coretan dengan identitas klub pecinta alam. Kondisi ini diperparah dengan kebiasaan buang sampah sembarangan yang dilakukan sejumlah pengunjung. Di dekat danau, banyak ditemui bungkus rokok, mi instan, kue kering, atau botol minuman mineral.
Seorang petugas di area parkir Kawah Gunung Kelud mengatakan, ia sudah berusaha untuk mengingatkan pengunjung. Namun apa daya, ketika lalai, sampah sudah menumpuk kembali bersama coretan di batu-batu besar sekitar danau. “Rasanya kok aneh. Ketika sebagian orang habis-habisan menjaga kesucian tempat ini, ada orang malah suka mengotori Gunung Kelud,” ujar pria yang enggan disebut namanya ini. Selain itu, tambahnya, ulah tangan setan juga membuat beberapa rambu di sepanjang jalan dari Perkebunan Margomulyo hingga area parkir danau kawah hilang entah kemana. Padahal rambu-rambu itu digunakan untuk menjaga keselamatan mereka yang berkendara dari Margomulyo ke kawah Kelud. mi hd laksono
Mossaik; november 2005