Mebel Ukir, Karduluk, Sumenep
Fathoni/HM Djupri KARDULUK GUDANG PERAJIN MEBEL UKIR HUJAN deras siang itu memang belum reda. Mencari rumah H. Muzeki, 61,…
Fathoni/HM Djupri
KARDULUK GUDANG PERAJIN MEBEL UKIR
HUJAN deras siang itu memang belum reda. Mencari rumah H. Muzeki, 61, yang di desanya, Karduluk, Kecamatan Peragaan, Sumenep, sebagai perajin mebel ukiran memang tak gampang. Mobil kijang yang kami tumpangi pun harus susah-payah melewati tanjakan dan lorong-lorong yang sempit. Akhirnya, dari seseorang di desa itu kami pun bisa menemukan rumah H Muzeki, salah satu perajin ukir di Karduluk.
Memasuki halaman rumah lelaki yang bertahun-tahun menggeluti mebel ini terlihat beberapa pekerja tengah sibuk mengerjakan berbagai mebel. Mulai dari kursi tamu, lemari, bufet, tempat tidur sampai pada pintu rumah. Mebel-mebel ini semuanya menggunakan ornamen ukir yang populer saat ini seperti ukiran burung, dedaunan dan ular. Namun di antara ukiran-ukiran itu motif ukir ular yang paling laris manis. Harga mebel produksi H. Muzeki paling rendah Rp 5 juta sampai puluhan juta.
Menurut Achmad Sunari, 33, putra H Muzeki, motif yang dianut ayahnya pun mengikuti model ukiran Sumenep pada umumnya, yaitu disamping burung dan ular juga didominasi motif daun kelapa. Dari motif daun ini lalu muncul kreativitas bentuk binatang-binatang itu. Tak hanya ukiran Sumenep, tapi juga uk iran dari Jepara yang masuk ke Karduluk, juga sebagai bahan referensi. “Jadi, antara ukiran Sumenep dan Jepara yang masing-masing punya ciri khas sendiri lantas digabung sehingga menjadi jati diri ukiran khas Karduluk,” jelas Achmad Sunari lulusan yang STAIN Malang.
Kini, sehari-hari ia mengajar di MTs Anajah Karduluk. Dari penuturan Achmad Sunari diketahui pula bahwa sebagai cikal bakal pembuat ukir-ukiran di Karduluk adalah nenek buyutnya. Ayahnya, H Muzeki, sebetulnya sebagai penerus tradisi ukiran keturunan yang kelima. Sampai pada perkembangannya, ternyata seni ukir Karduluk sudah menyebar hampir ke seluruh wilayah Madura. Jadilah Karduluk sebagai desa gudangnya perajin mebel ukir. Jangan heran kalau kebanyakan tukang atau perajin ukir berasal dari Karduluk ini.
Namun, mereka lebih senang bekerja di .luar desa, karena bekerja di luar upahnya lebih besar. Kalau bekelia di Karduluk satu hari upahnya cuma Rp 20 ribu, maka di luar mereka bisa menerima upah Rp 100 ribu setiap hari. “Inilah salah satu kendala yang dialami perajin Karduluk, karena konsumen sekarang tidak harus membeli mebel ukiran di tempat ini. Istilahnya, bagi konsumen sekarang sudah banyak pilihan,” jelas Achmad Sunari. Hampir semua warga Desa Karduluk menjalani profesi perajin ukir-ukiran. Cuma sayang, kebanyakan modal mereka dari kantong sendiri. “Dulu memang ada koperasi yang langsug dikoordinasi dari kabupaten sehingga para perajin mebel ukir di sini sempat tertolong dari sisi permodalan.
Kalau tidak salah namanya Koperasi Besama Kabupaten (KBK) Sumenep. Tapi, sekarang koperasi itu kok tidak ada lagi sehingga para perajin di sini seakan kesulitan modal. Tapi, yang patut dibanggakan setiap ada pameran produk unggulan di tingkat kabupaten atau provinsi, hasil ukiran Karduluk selalu diikutsertakan,” ujarnya. Ada yang menarik dari penuturan Achmad Sunari. Ayahnya, H. Muzeki, dan perajin lain di desanya menjual mebel ukir kebanyakan ke daerah-daerah di sekitar Karduluk. Kebanyakan konsumen membeli dengan cara inden, pesan langsung bayar separo.
Sisanya, dibayar kalau barang Sudah jadi. Biasanya, konsumen membayar lunas bersamaan dengan panen padi atau tembakau. “Hasil dari pembayaran inden inilah yang dijadikan modal kerja. Jadi, modal perajin cukup terbantu sekali. Apalagi sekarang mencari kayu bahan baku memang agak sulit. Ini sebabnya, kami lebih senang membeli kayu jati dari Jawa disamping kualitasnya bagus, harganya pun murah,” ujar ayah satu anak ini.
Nah, untuk mengatasi kesulitan bahan kayu jati ini, masyarakat mulai sadar pentingnya menanam sendiri. Itu sebabnya, hampir semua tanah di Karduluk sekarang boleh dibilang ditanami bibit kayu jati yang varitasnya cepat tumbuh dan umurnya tidak terlalu lama, sehingga dalam waktu tidak terlalu lama bisa ditebang untuk bahan mebel. Bahkan, sekarang ada yang berumur lima tahun sudah bisa dimanfaatkan kayunya. Inisiatif ini muncul sekitar sepuluh tahun yang lalu ketika para perajin dihadapkan pada sulitnya mencari kayu jati sebagai bahan mebel.
Pembinaan dari instansi terkait soal ukiran ini memang pernah dilakukan. Pembinaan lebih difokuskan pada teknik ukir, ketahanan mebel dan pemasaran. Lagi-lagi mereka yang bermodal kuat itulah yang lebih eksis. Walau kualitas tak kalah dengan pemodal besar, mau tak mau mereka yang modalnya cekak, harus mencari pangsa pasar sendiri. Misal, harus mencari konsumen ke kampung-kampung. Karena Achmad Sunari sudah terlebih dulu terjun di bidang pendidikan, maka sebagai penerus ukir mebel dari ayahnya jatuh kepada kakak iparnya. “Sebetulnya saya juga ada bakat di bidang ukiran mebel kayu ini, karena kesibukan di bidang pendidikan sehingga untuk sementara terpaksa saya tinggalkan dulu.
Lebih-lebih keseharian saya lebih sering di rumah mertua, maka otomatis kegiatan ukir yang dilakukan secara turun temurun di rumah ayah tidak bisa saya geluti. Tapi, suatu saat saya juga akan meneruskan usaha ayah say a ini,” tekadnya. Walau tidak terjun langsung sebagai perajin, Achmad Sunari ternyata pengamat ukir andal, termasuk mengamati hasil ukiran Karduluk. Menurutnya, disamping punya artistis tersendiri polesan plitur juga punya ketahanan prima. Artinya, plitur yang melekat di setiap ukiran punya ketahanan lama atau awet.
Begitu juga kayu jati yang dibuat sebagai bahan, dipilih yang berkualitas. H Muzeki, menurut Achmad Sunari, pernah mengalami masa jaya ketika orang-orang lagi senang-senangnya memelihara ayam bekisar. Saat itu dia hampir kewalahan menerima pesanan kurungan ayam bekisar yang memang penuh dengan nuansa ukir. Bahkan, pemesannya tidak saja dari Madura atau Surabaya tetapi sudah merambah Jakarta. Masa-masa kejayaan itu tinggal kenangan. Kini, ayahnya disamping mengandalkan pemesanan secara lokal juga menunggu saat musim perkawinan. Bisanya, calon pengantin pria kebanyakan pesan satu paket yang terdiri dari lemari, meja kursi, bufet dan tempat tidur. “Saat-saat seperti ini produksi meningkat sampai lima kali lipat. Apalagi ada semacam tradisi di daerah ini, adalah suatu kebanggaan bagi seorang pemuda bila bisa mempersembahkan satu paket mebel kepada calon pengantin perempuan. Semakin bagus dan kualitas paket mebel, maka rasa bangga pun semakin tinggi. Sebab, kebanyakan pengantin perempuan hanya menyediakan tempat, untuk mengisinya perangkat mebel adalah pihak pengantin pria,” pungkas Achmad Sunari . • ryan
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: SAREKDA Jawa Timur, edisi: 011 1 2011