Candi Kidal
1. Letak dan Lingkungan Secara administratif Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang (bagian timur), Propinsi Jawa…
1. Letak dan Lingkungan
Secara administratif Candi Kidal terletak di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang (bagian timur), Propinsi Jawa Timur. Perjalanan menuju Candi Kidal ini dapat dilakukan dengan mudah melewati jalan beraspal yang menghubungkan kota Malang dengan Kecamatan Tumpang. Letak Candi Kidal juga tidak jauh dari jalan raya antara Kecamatan Tajinan dan Kecamatan Tumpang.
Situs Candi Kidal yang menempati area seluas 1775,50 meter persegi di tengah alam pedesaan ini merupakan daerah endapan lahar gunung berapi pada ketinggian 517,58 meter di atas permukaan air laut dengan kemiringan yang sangat tinggi karena terletak di lereng sebelah barat Gunung Semeru. Gunung Semeru sampai sekarang masih menunjukkan kegiatan sebagai gunung berapi. Sebagai daerah yang terletak di lereng gunung berapi, Desa Rejokidal merupakan daerah endapan lahar gunung berapi berwama hitam kecoklat-coklatan yang kini menjadi lahan pertanian yang subur.
Di sebelah timur Candi Kidal, yang jaraknya kurang lebih 100 meter, terdapat Sungai Brantas yang mengalir dari utara ke selatan. Di sebelah timur aliran Sungai Brantas ini terdapat sumber air yang oleh penduduk dimanfaatkan untuk pemandian dan mengairi sawah.
Daerah sekitar sumber air tersebut letaknya lebih rendah (kurang lebih 10 meter dari halaman candi). Selain itu, dari tebing di sebelah timur candi keluar rembesan air yang berasal dari tanah endapan yang dimanfaatkan untuk memelihara ikan dalam kolam-kolam kecil. Curah hujan daerah Kidal dan sekitamya dalam 10 tahun terakhir rata-rata berkisar 1832 mili meter tiap tahun dengan lama hujan 114 hari, sedangkan curah hujan yang terbanyak jatuh pada tahun 1984 yakni sebesar 2563 mili meter dengan lama hujan 183 hari. Curah hujan terkecil pada tahun 1976 yaitu sebesar 1167 milimeter dengan lama hujan 61 hari.
Di sekitar Candi Kidal terdapat berbagai tumbuhan tanaman keras yang subur seperti pohon duku, sawo, dan rumpun bambu.
2. Latar Belakang Sejarah
Senantiasa merupakan sajian ataupun kajian yang menarik serta penuh pelajaran bahwa di pentas Sejarah Indonesia Kuno, terdapat suatu wilayah yang dari abad ke abad menjadi pusat pengembangan kebudayaan. Jawa Timur pada umumnya serta wilayah Malang khususnya, menyimpan sejumlah benda cagar budaya yang membuktikan bahwa kawasan ini sebagai panggung yang banyak mementaskan adegan sejarah tersebut.
Prasasti Dinoyo misalnya, yang berangka tahun760 Masehi merupakan bukti sejarah tertua tentang adanya kekuasaan Kerajaan Hindu di daerah Malang. Prasasti ini menyebutkan bahwa seorang raja yang bemama Gajayana mendirikan sebuah bangunan suci untuk Agastya.
Beberapa pakar kepurbakalaan seperti Poerbatjaraka dan J.G. de Casparis menduga bahwa bangunan suci yang didirikan oleh raja Gajayana itu adalah Candi Badut yang terletak di Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Jika dilihat dari sudut bangunannya, Candi Badut termasuk candi yang berlanggam tua seperti di Jawa Tengah.
Pada kurun waktu berikutnya tidak ada keterangan tentang sejarah Malang. Sekitar empat abad sesudahnya muncul sebuah kerajaan baru bemama Singasari yang didirikan oleh Ken Angrok pada tahun 1222 M. Di dalam Serat Pararaton disebutkan bahwa sebelum menjadi Raja Singasari, Ken Angrok berkedudukan sebagai akuwu di Tumapel yang diraihnya dengan jalan membunuh Tunggul Ametung. Pada waktu itu Tumapel merupakan sebuah daerah di bawah kekuasaan Kerajaan Kediri yang diperintah oleh Raja Dandang Gendis atau Kertajaya. Ken Angrok menunggu saat-saat yang baik untuk memberontak dan melepaskan diri dari kekuasaan Kertajaya. Saat yang ditunggu-tunggu itu datang ketika Ken Angrok didatangi para pendeta dari Kadiri yang meminta perlindungan terhadap tindakan-tindakan Raja Kadiri yang dianggap melanggar adat. Para pendeta Kadiri tidak mau menyembah kepada Kertajaya, lalu mereka mengungsi ke Tumapel. Dengan didukung para pendeta itulah kemudian Ken Angrok mampu menghancurkan Kadiri dan mendirikan kerajaan baru yang bernama Singasari.
Sejarah juga mencatat bahwa kemudian Ken Angrok yang bergelar Sang Amurwabhumi itu dibunuh oleh suruhan Anusapati (anak Tunggul Ametung dengan Ken Dedes) pada tahun 1169 Saka (1247 M). Sesudah itu, Anusapati naik takhta pada tahun Saka 1170 Saka (1248 M). Ia kemudian dibunuh oleh Tohjaya (anak Ken Angrok dengan Ken Umang) pada tahun 1249 M dan dicandikan di Kidal.
Mengenai tahun meninggalnya Anusapati memang ada dua sumber yang berselisih. Menurut kitab Nagarakertagama pupuh 41 :1 dijelaskan bahwa Raja Anusanatha atau Anusapati meninggal dalam tahun Saka 1170 (1248 M) dan untuknya dibuatkan sudarmma (candi) di Kidal. Sebaliknya Pararaton menjelaskan bahwa Anusapati meninggal pada tahun Saka 1171 (1249 M) dan dicandikan di Kidal.
Dari data-data tersebut para sarjana umumya sependapat bahwa Candi Kidal adalah tempat pendarmaan Anusapati. Menurut Bernet Kempers, Candi Kidal ini pembangunannya selesai sekitar tahun 1260 M, saat diadakannya upacara sraddha (upacara yang dilangsungkan 12 tahun setelah raja meninggal). Selain bersumber pada Nagarakertagama dan Pararaton, fungsi Candi Kidal dapat dipelajari melalui relief Garudeya yang intinya adalah cerita tentang pelepasan arwah orang yang sudah meninggal.
Asal-usul nama Kidal yang disebutkan pertama kali dalam Nagarakertagama tidak diketahui secara pasti. Ismanu menduga bahwa nama Candi Kidal berdasarkan cara pembacaan relief Garudeya, urutan jalan ccritanya seharusnya dimulai dari sebelah selatan dan berakhir di utara.
Oleh kerena itu, apabila kita mengunjungi Candi Kidal berkeliling mulai dari pintu masuk candi menuju ke kanan, maka candi berada di sebelah kiri pengunjung. Berdasarkan cara pembacaan relief yang selalu di sebelah kiri inilah kemungkinan bangunan ini disebut “kidal” (yang berarti kiri).
3. Arsitektur Candi Kidal
A. Diskripsi Bangunan
Denah Candi Kidal berbentuk bujursangkar dengan ukuran 8,36 x 8,36 meter. Bentuk bangunan tampak ramping menjulang seperti lazimnya candi-candi di Jawa Timur. Pintu masuk candi berada di sebelah barat. Secara keseluruhan Candi Kidal masih mempunyai bagian bangunan yang relatif lengkap, yaitu bagian batur, kaki, tubuh, dan atap.
1. Batur
Batur adalah alas tempat berdiri kaki candi. Bentuknya bujur sangkar dan tanpa hiasan, lebih sederhana bila dibandingkan dengan bagian kaki lurus ke atas. Pada bagian batur ini terdapat pelipit dan tempat berdiri penampil yang menyatu, dengan tangga masuk. Kedua ujung pipi tangga dihias dengan kepala naga (seperti makara candi Jawa Tengah).
2. Kaki Candi
Kaki candi tinggi dan berdenah bujursangkar. Pada sisi barat terdapat penampil dengan tangga naik. Profil kaki candi tidak menunjukkan adanya bingkai setengah lingkaran, seperti halnya dijumpai pada candi-candi di Jawa Tengah. Tiap-tiap bidang sisi kaki candi dibagi menjadi empat panil yang berhiaskan medalion sedangkan pada pilaster-pilasternya, terdapat hiasan jambangan yang sederhana. Di tiap sudut kaki candi dan sudut penampilan masing-masing dihias dengan arca singa dalam posisi duduk dengan kedua kaki depan diangkat seolah menyangga candi. Di bagian tengah ketiga sisi candi, yaitu sisi utara, timur dan sisi selatan masing-masing dihias dengan relief Garuda, yakni hiasan yang paling menarik yang menceritakan Garudeya. Ceritera Garudeya ini terdapat pada bagian pertama (Adiparwa) di dalam ceritera Mahabharata.
Penggambaran relief Garudeya tersebut adalah sebagai berikut:
Sisi Utara: Garuda digambarkan dengan sikap badan jongkok, kaki kanan ditekuk dengan lutut tepat di depan perut, sedangkan kaki kiri ditekuk dengan lutut bertumpu pada landasan. Tangan kanan diangkat bersikap menyangga, sedangkan tangan kiri berada di pinggang sebelah kiri. Di atas kepala garuda duduk seorang wanita di atas padma.
Sisi Timur: Garuda digambarkan dalam sikap yang sama seperti pada sisi utara, tangan kanan memegang seberkas ikatan yang ditafsirkan sebagai seikat kuca (rumput). Di atas kepala Garuda terdapat guci amrta.
Sisi Selatan: Garuda digambarkan dalam sikap jongkok yang sama. Di atas kepalanya terdapat tiga ekor naga. Relief Garuda tersebut, menurut para sarjana, menggambarkan ceritera Garudeya,
yang pembacaannya diurutkan secara pradaksina, (menganankan candi) yaitu berturut-turut dari sisi utara adalah Garuda bersama dengan ibunya; Garuda dengan guci amrta yang telah direbutnya dari para Dewa, dan Garuda dengan para naga.
Tentang arah pembacaan relief ini, Ismanu berpendapat lain. Menurutnya, arah pembacaan relief tersebut seharusnya secara prasawya (mengirikan candi) sehingga akan didapatkan susunan relief yang urut sesuai dengan jalan ceritanya sebagai berikut.
- Sisi Selatan: Garuda dalam kekuasaan para naga. Ibu Garuda (Sang Winata) masih dalam perbudakan sang Kadru (Ibu para naga).
- Sisi Timur: Ganlda telah mendapatkan amrta sebagai penebus ibunya. Amrta telah dapat direbut dari para: dewa
- dan kemudian disangkutkan pada kuca
- Sisi Utara: Garuda” siap berangkat bersama ibunya meninggalkan para naga karena telah bebas dari perbudakan sang Kadru.
3. Tubuh Candi
Tubuh candi ramping dan berpenampang bujur sangkar. Antara kaki dan tubuh ini terdapat selasar sehingga pengunjung dapat berjalan mengelilingi candi. Pada tiap sisi tubuh candi terdapat relung, khusus relung sisi barat berukuran lebih kecil terletak di sebelah kanan dan kiri pintu masuk. Di atas relung dan pintu masuk terdapat hiasan kepala kala dalam keadaan masih baik kecuali kepala kala di atas relung sisi utara sudah rusak. Kepala kala tersebut dilengkapi dengap rahang bawah sebagai gaya kala yang lazim dijumpai di Jawa Timur.
Relung-relung tersebut mempunyai bentuk atap trapezium yang puncaknya berbentuk kubus. Bagian puncak kubus itu bersatu dengan bagian bawah atap candi. Bidang-bidang datar tubuh candi di kanan kiri relung diberi hiasan medalion dengan motif daun-daunan, binatang dan makara. Bilik candinya berukuran 1,90 x 1,90 meter dengan tinggi 2,60 meter.
4. Atap Candi
Bagian atap candi sekarang sudah tidak utuh lagi, tetapi masih menunjukkan tiga tingkatan yang dibatasi oleh dua bingkai pelipit berukir yang di atasnya terdapat hiasan berupa deretan miniatur candi. Hiasan-hiasan ini membentuk satu tingkatan atap, semacam itu pulalah tingkatan atap yang di atasnya. Namun, atap candi yang ada sekarang ini tinggal tingkat pertama dan sebagian tingkat kedua, sedangkan atap tingkat ke tiga sena, bagian puncaknya telah hilang. Atas dasar perbandingan dengan puncak atap candi-candi Jawa Timur pada umumnya, serta bentuk atap di atas relung Candi Kidal sendiri, dapat diduga bahwa atap Candi Kidal dahulu berbentuk kubus.
B. Arca-Arca
Di dalam bilik candi tidak diketemukan arca selain sebuah yoni. Di dalam bilik ini diperkirakan dahulu berdiri arca Siwa yang sekarang disimpan di Royal Tropical Institute Amsterdam. Arca tersebut dalam sikap berdiri, tingginya 1,23 meter dan bertangan empat. Tangan kanan belakang memegang aksamala (tasbih), tangan kiri belakang membawa camara.
Kedua tangan depan ditekuk di muka dada, telapak, tangan kiri terbuka menghadap ke atas, sedangkan telapak tangan kanan ada di atas telapak tangan kiri dalam sikap menggenggam dengan ibu jari diarahkan ke atas. Sikap demikian ini menunjukkan ciri yang khas bagi arca perwujudan. Di sampingnya terdapat bunga teratai yang keluar dari bonggolnya, ini merupakan ciri khas gaya seni arca zaman Singosari. Data inilah yang memperkuat dugaan bahwa arca Siwa tersebut kemungkinan besar merupakan perwujudan dari Raja Anusapati.
Seandainya dugaan bahwa arca Siwa tersebut memang benar merupakan perwujudan dari Anusapati, hal ini sangat sesuai dengan apa yang tercatat di dalam kitab kesastraan Nagarakertagama. Dalam kitab tersebut khususnya pupuh 74 dan 75 disebutkan bahwa jumlah tempat suci yang termasuk dharma haji atau dharma dalm (segala jenis bangunan suci yang diperuntukkan raja) ada 27 buah, di antaranya adalah Kagenengan, Jajaghu, Pikatan, Weleri, Sukalila, Kumitir, dan Kidal. Bahkan, dalam pupuh 37 nyata-nyata disebutkan bahwa Raja Hayam Wuruk mengunjungi Candi Kidal, dalam rangka aktivitas keagamaan yang selalu menghormati nenek moyangnya.
Menurut de Haan, temuan area lain yang berasal dari Candi Kidal adalah arca Nandicwara dan Mahakala. Arca-arca ini biasanya menempati relung-relung di kanan kiri pintu masuk candi. Selain itu, menurut Bosch, arca lain yang pemah ditemukan adalah arca duduk yang diperkirakan dari agama Budha.
4. Riwayat Penelitian
Secara kronologis beberapa ahli yang pernah meneliti Candi Kidal adalah sebagai bcrikut:
1. Thomas Stamford Reffles menulis pertama kali tentang Candi Kidal pada tahun 1817. Candi ini disebutnya dengan nama Candi Kedal. Keadaannya masih diselimuti oleh hutan. Tinggi bangunan 35 kaki (kurang lebih 10 meter), berhiaskan arca singa yang menonjol pada setiap sisinya. Relief lain berupa naga yang kepalanya saling melilit, jambangan air, serta relief yang menggambarkan seorang wanita.
2. Pada tahun 1867, Brumund melaporkan bahwa Candi Kidal keadaannya sudah bersih dari pepohonan. Ia menemukan dinding sebelah timur, utara, dan selatan, relung, relief garuda, naga, dan lainnya.
3. Di dalam laporan Belanda Notulen van het Bataviaasch Genootschaap tahun 1883 jilid XXI disebutkan tentang adanya usaha konservasi, pembersihan rumput dan lumut pada bagian bangunan candi, terutama pada hiasan medalion-medalionnya.
4. De Haan pada tahun 1925 ketika mendapat tugas memperbaiki Candi Kidal menyatakan bahwa Candi Kidal mempunyai dua ruangan, yaitu bilik candi dan bilik di dalam atap candi.
5. F.D.K. Bosch meneliti sejarah dan ikonografi (seni arca) nya. Ia mengatakan bahwa Candi Kidal didirikan sebagai pendarmaan Raja Anusapati. Agama yang mendukungnya adalah agama Hindu karena terdapat relief Garuda yang merupakan kendaraan Dewa Wisnu. Penelitian Bosch ini ditulis dalam bukunya Tjandi Kidal, Historische en Iconographische Beschrijving ROD tahun 1925.
6. Pada tahun 1928, dalam laporan kepurbakalaan OV (Oudheidkllndig Verslag), disebutkan tentang adanya kegiatan perbaikan pagar candi yang disertai dengan pembuatan selokan untuk pengaturan air di sisi timur.
7. Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesien Art terbitan tahun 1959 mengatakan bahwa Candi Kidal dibangun untuk pemakaman Raja Anusapati dari Singasari yang meninggal pada tahun 1248 M.
8. Soekmono tahun 1974 dalam disertasinya yang berjudul Candi, Fungsi dan Pengertiannya mengatakan bahwa candi bukan makam, melainkan sebagai kuil. Ia menyebutkan pula bahwa Candi Kidal berfungsi sebagai kuil.
9. Pada tahun 1976, Satyawati Suleiman dalam bukunya Monuments of Ancient Indonesia mengatakan bahwa Candi Kidal diperuntukkan bagi Anusapati, Raja Singasari. Dikatakannya pula bahwa arca Siwa yang sekarang disimpan di Royal Tropical Institue di Amsterdam berasal dari Candi Kidal.
5. Pemugaran
Mengingat betapa sangat pentingnya nilai sejarah Candi Kidal dalam kerangka historiografi Sejarah Indonesia yang sekaligus merupakan tonggak warisan budaya bangsa, padahal keadaan fisiknya begitu parah, sudah sewajarnya apabila kemudian diadakan usaha pelestarian dengan cara pemugaran atas candi tersebut.
Pemugaran Candi Kidal dilaksanakan sejak tahun anggaran 1987/1988 sampai dengan 1989/1990, melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.
Pengertian pemugaran atas benda cagar budaya ringkas adalah upaya perbaikan dan pemulihan kembali sejauh mungkin pada keasliannya atas dasar bahan-bahan asli serta kelengkapan datanya. Pelaksanaan pemugaran harus mampu menjamin bahwa setiap unsur benar-benar dikembalikan pada tempat aslinya sesuai dengan fungsinya semula dan dapat bertahan pada waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, di dalam setiap pelaksanaan pemugaran harus didahului dengan disertasi dengan studi, baik studi kelayakan maupun studi teknis, persiapan pemugaran, pelaksanaan pemugaran, dan penataan lingkungan bahkan setelah selesai, perlu studi evaluasi. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pelaksanaan kegiatan pemugaran Candi Kidal juga tercakup beberapa kegiatan, antara lain sebagai berikut.
1) Studi kelayakan dan studi teknis untuk memperoleh data sehingga dapat diketahui bahwa benar-benar masih layak untuk dipugar sesuai kondisi dan data-data teknis bangunan.
2) Persiapan pelaksanaan pemugaran sesuai dengan rencana, misalnya pembuatan bengkel kerja, pendokumentasian (foto dan gambar), pembuatan perancah serta perhitungan batu yang rusak/hilang.
3) Pembongkaran susunan percobaan, penggambaran, pendokumentasian, dan pemasangan kembali batu-batu asli maupun pengganti.
4) Konservasi batu-batu sebelum dan sesudah dipasang kembali.
5) Penataan lingkungan serta penanaman agar sedap dipandang tanpa mengaburkan data arkeologisnya.
6. Penutup
Candi Kidal sebagai peninggalan sejarah dan purbakala merupakan bukti autentik sebagai bentuk nyata yang menyimpan dan memancarkan nilai serta ide-ide filosofis luhur yang pernah dihayati oleh bangsa kita. Kini sebagai bangsa yang sedang membangun, kita sangat memerlukan warisan itu sebagai sumber inspirasi untuk bertindak maju mencapai cita-cita bangsa. Untuk itu diperlukan usaha-usaha pelestarian pemanfaatan peninggalan sejarah dan purbakala tersebut agar dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Suatu peninggalan yang telah dipugar sesuai dengan bentuk aslinya, berarti kelestariannya dapat dipertahankan. Hal ini banyak memberi manfaat bagi pendidikan, ilmu pengetahuan, sumber sejarah, sarana rekreasi, sosial budaya, serta sosial ekonomi.
Candi Kidal harus bebas dari corat coret yang tidak bertanggungjawab atau vandalisme, bebas dari polusi, baik yang diakibatkan oleh meningkatnya arus wisatawan maupun akibat meningkatnya perkembangan kependudukan. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat sangatlah dibutuhkan dalam upaya bersama bangsa kita untuk melestarikan warisan budaya serta jati diri bangsaIndonesia, sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Penyusun: Drs. Edi Triharyantoro, Disain Grafis: Risman Marah
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Candi Kidal: cagar budaya di wilayah Malang Jawa Timur. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Depdikbud, 1992/1993.