Hotel Mojopahit (2)
Berdasarkan sumber sejarah diketahui bahwa hotel yang sekarang bemama Hotel Majapahit didirikan oleh keluarga Sarkies pada tanggal 1 Juni 1910,…
Berdasarkan sumber sejarah diketahui bahwa hotel yang sekarang bemama Hotel Majapahit didirikan oleh keluarga Sarkies pada tanggal 1 Juni 1910, Sumber sejarah berupa prasasti bertuliskan bahasa Belanda berbunyi: “de eerste steen van dit gebouw werd door Eugene Lucas Sarkies gelegd op den len juni 1910”. Dari prasasti ini dapat diketahui bahwa pemilik pertama hotel ini adalah Lucas Martin Sarkies. Hotel ini kemudian dikenal dengan nama Hotel LMS, yang merupakan kependekan dari Hotel Lucas Martin Sarkies. Supaya lebih popular dan untuk mengenang pahlawan Belanda, Willem van Oranje, nama hotel ini diganti dengan Hotel Oranje. Sejak masa kependudukan Jepang, Hotel Oranje diambil-alih oleh Jepang dan namanya kembali diganti menjadi Hotel Yamato. Sejak zaman kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tahun 1969, nama hotel Yamato berganti lagi menjadi Hotel Majapahit sesuai dengan nama PT yang mengelolanya. Hotel Oranje atau Hotel Majapahit terletak di jalan Tunjungan, di kelurahan Genteng, Kecamatan Genteng, Kotamadya Surabaya. Dewasa ini, jalan Tunjungan merupakan salah satu pusat pertokoan yang ramai karena letaknya strategis, di pusat kota Surabaya. Hotel Oranje menghadap ke barat, memangku jalan Tunjungan dan menghadap segi tiga emas Surabaya. Posisi strategis ini tidak berubah sejak hotel itu didirikan sampai kini. Walaupun Hotel Oranje saat ini sudah berumur 86 tahun, namun wujud bangunannya belum banyak berubah. Perubahan-perubahan kecil memang terjadi sesuai dengan kebutuhan pada saat tertentu. Hotel Oranje dibangun dengan denah berbentuk huruf U. Bangunannya berlantai dua dan arsitekturnya amat sesuai dengan alam tropis, banyak jendela dan lorong yang digunakan sebagai serambi. Kombinasi antara jendela-jendela lengkung dan lorong-lorong menambah keindahan dan kesegaran hawa di hotel itu. Kamar-kamarnya sangat luas, apalagi bila dibandingkan dengan kamar-kamar hotel zaman sekarang. Di halaman tengah, di antara dua bangunan hotel yang membujur dari barat ke timur, didirikan sebuah bangunan sebagai tempat pertemuan dan lobi. Bangunan terakhir ini juga menibujur dari barat ke timur, tetapi tidak sepanjang bangunan yang mengelilinginya. Ruangan antara bangunan tengah dan bangunan di kiri-kanannya cukup luas untuk sebuah taman yang menambah kesegaran, keindahan dan keanggunan keseluruhan kompleks hotel. Di sudut barat daya dan barat laut terdapat menara yang indah dan anggun. Arsitektur bangunan tengah dan menaranya sangat bagus. Ruang pertemuan dan lobi pun sangat indah dan serasi sampai ke detilnya. Di depan bangunan-bangunan tengah itu terbentang halaman yang cukup luas, ditanami beberapa palem raja, menambah keanggunan hotel itu. Peta menunjukkan bahwa hotel Oranje merupakan hotel yang indah, megah dan anggun. Sulit dicari tandingannya. Suasananya segar, lepas dan tidak sesak. Bangunan asli ini bertahan sampai tahun 1935. Pada tahun 1936 mulai dilakukan perubahan karena diperlukan ruang tunggu, ruang informasi dan ruang pelayanan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu didirikan sebuah bangunan di halaman tengah, di depan bangunan tengah yang sudah ada dengan jarak kurang lebih 10 m. Bangunan baru ini lebih masuk ke belakang bila dibandingkan dengan kedua bangunan lama di kiri dan kanannya. Bangunan baru dan bangunan lama di kiri-kanannya dipisahkan oleh sebuah lorong yang berfungsi sebagai penghubung. Arsitektur bangunan baru ini disesuaikan dengan arsitektur lama. Bangunan baru itu memiliki sebuah kanopi yang sangat bermanfaat bagi tamu-tamu yang kehujanan. Perubahan lain yang dilakukan adalah pembongkaran kedua buah menara di sudut barat daya dan barat laut bangunan tengah yang lama. Menara-menara ini pada mulanya memperindah kompleks Hotel Oranje, akan tetapi tampaknya bangunan-bangunan itu dibongkar untuk memperluas halaman antara bangunan tengah yang lama dengan bangunan tengah yang baru. Bangunan baru itu membuat halaman luas yang mendukung kelegaan kompleks hotel menjadi tampak sempit. Sekarang jarak bangunan baru dengan trotoar tidak lebih dari 10 m. Untunglah bangunan yang didirikan pada tahun 1936 itu tidak sepenuhnya menutupi kemegahan dan keanggunan hotel bila dilihat dari depan atau bila dilihat dari jalan Tunjungan, Dari depan ke belakang masih terdapat lorong yang luasnya kurang-lebih 6 – 8 m sehingga keanggunan dan keagungan hotel ini masih dapat dinikmati. Kondisi seperti ini hanya bertahan sampai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, khususnya di Surabaya. Pada tahun 1942, kekuasaan atas Indonesia diambil-alih oleh pemerintah Jepang dan mereka mengambil-alih pula Hotel Oranje. Mereka mengubahnya menjadi salah satu markas mereka. Untuk menjaga keamanan dan kerahasiaan karena perubahan fungsi dari hotel menjadi markas militer, diadakan perubahan-perubahan pula. Lorong yang memisahkan bangunan tengah. dan bangunan sebelah kiri dan kanannya ditutup, namun dlbuatkan sebuah pintu sebagai penghubung antara halaman paling depan dengan halaman yang terdapat di belakang tembok penyekat. Kesan serasi semakin meningkat karena sekarang kamar-kamar hotel dan ruang pertemuan tidak terlihat oleh orang yang lewat di jalan Tunjungan. Bangunan penghubung baru ini merupakan bangunan semi-permanen dan bertahan sampai Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan Indonesia, Hotel Oranje perlahan-lahan kembali ke fungsinya semula. Sejak didirikan pada tanggal 1 Juni 1910 sampai sekarang, kondisi bangunan Hotel Oranje dan namanya selalu menunjukkan perkembangan. Bangunannya dapat dikatakan masih asli karena kalau pun ada perubahan, perubahan itu tidak banyak sehingga bentuk aslinya masih dominan. Nama gedung ini selalu berubah sesuai dengan situasi yang berkembang dan terpengaruh oleh orang yang berkuasa pada saat itu di Surabaya. Ada satu hal menarik dalam pemberian nama hotel ini. Nama-nama yang diberikan selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat heroik. Belanda memberikan nama pahlawan yang menjadi kebanggaan mereka, Willem van Oranje. Bagi orang Belanda, nama Willem van Oranje telah terpatri di hati sanubari mereka sebagai seorang pahlawan besar. Jepang pun tidak mau kalah. Nama hotel yang berbau Belanda itu diganti setelah Jepang berhasil menanamkan kekuasaan di Indonesia dengan nama Hotel Yamato. Nama ini dimaksudkan untuk mengenang dan mengagungkan salah seorang panglima perang mereka. Nama Majapahit yang diberikan kepada hotel ini setelah Indonesia merdeka mengingatkan kita pada keagungan dan kebesaran suatu kerajaan di Jawa Timur yang pernah menyatukan bumi nusantara di bawah kekuasaannya. Belanda maupun orang lain tidak pernah menduga bahwa hotel ini akan menjadi: saksi sejarah peristiwa yang sangat menentukan kehidupan bangsa Indonesia. Hotel Oranje merupakan bangunan yang menonjol di zamannya. Di samping bangunannya yang berciri khas arsitektur Eropa, letaknya juga sangat strategis. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila pemerintah Belanda maupun Jepang menaruh perhatian khusus pada bangunan ini. Di zaman Jepang, hotel ini menjadi markas militer Jepang di Surabaya. Fungsinya sebagai markas militer tidak berubah setelah pasukan NICA dan tentara Sekutu berhasil melucuti pasukan Jepang. Kekunoan Hotel Oranje dengan gaya arsitekturnya yang khas membuatnya nampak menonjol di antara bangunan lain di sekitamya. Kekhasan gaya arsitektur hotel ini memiliki dayatarik tersendiri bagi para wisatawan, mancanegara maupun domestik. Keberadaan hotel ini mempunyai arti spesial bagi para wisatawan yang ingin mengenang peristiwa heroik di kota Surabaya, yang terjadi antara tanggal 19 September 1945 dan serangan brutal pasukan Sekutu pada tanggal 10 Nopember 1945. Prakarsa untuk memberi arti khusus kepada hotel ini pernah dirintis oleh Komandan Korem 084 Baskara Jaya pada tahun 1970. Ia mendirikan sebuah patung seorang pejuang bersenjata bambu runcing dengan bendera merah-putih di ujungnya. Patung pejuang yang didirikan di halaman hotel seakan menyatakan kepada generasi penerus bahwa walaupun hanya bersenjatakan bambu runcing, dengan semangat “rame ing gawe, sepi ing pamrih” dilandasi tekad “rawe-rawe rantas, malang-malang puntung” kaum penjajah berhasil diusir dari bumi nusantara tercinta. Sejarah singkat insiden bendera tertulis di bawah patung itu: Pada tanggal 19 September 1945 … Ketika melihat bendera merah putih biru berkibar kembali di Hotel Oranje (Yamato Hotel), kemarahan rakjat dan pemuda-pemuda di Surabaya tidak tertahan lagi. Dengan serentak Rakjat bergerak, Suasana menjadi panas, djalan Tundjungan menjadi lautan manusia yang bergelora … Terdjadilah .. Insiden bendera fadjar permulaan meletusnya api revolusi karena Rakjat hanya menghendaki supaja Sang Dwiwarna yang berkibar di angkasa Indonesia, sedang si Tiga Warna harus turun . .. Kemudian … Berkibar Sang Dwiwarna hingga detik sekarang dan untuk seterusnya sebagai lambang kemegahan dan kedjajaan nusa dan bangsa Indonesia. Rangkaian tulisan ini memberi gambaran jelas mengenai terjadinya insiden bendera di Hotel Oranje, perasaan masyarakat kota Surabaya, sikap mereka serta apa yang mendorong tindakan mereka. Keberadaan patung pejuang di halaman holel sebetulnya membantu masyarakat memahami arti dan makna perjuangan serta nilai-nilai yang layak diteladani generasi muda, keteguhan sikap untuk membela nusa dan bangsa walaupun harus mengorbankan nyawa. Sayang sekali, setelah Hotel Oranje direnovasi, patung itu hingga kini belum dipasang lagi, mungkin tidak lagi untuk selamanya. Setelah selesai di renovasi, Hotel Oranje akan menjadi hotel berbintang lima dengan nama Hotel Majapahit. Memang hotel itu tidak menjulang tinggi ke angkasa seperti hotel berbintang lima lainnya, namun ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki holel lain, yaitu perannya saal bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan. Letak yang strategis, kokohnya dan keanggunan bangunan dapat ditiru, tetapi peranan sejarahnnya tidak mungkin. Sebagai saksi sejarah, Hotel Majapahit tidak terlepas dari peristiwa sejarah yang sangat menentukan bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itulah, Hotel Majapahit perlu dilestarikan sebagai monumen bersejarah. Mempertahankan bentuk fisik Hotel Majapahit sama halnya dengan melestarikan kenangan sejarah berkenaan dengan titel kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan dan peristiwa-peristiwa yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: AFT. Eko Susanto. Hotel Majapahit, Perjuangan Arek-arek Surabaya Pada Tahun 1945. Jakarta, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depdikbud, 1996/1997
Comments
Bangganya pernah berkerja disini, pengalaman yg tidak bisa dibayar oleh apapun…