Kisah gerbong maut
-2001- Peristiwa gerbong maut ini diawali ketika pasukan Belanda telah berhasil menduduki Bondowoso. Pada tanggal 22 Pebruari 1947 pasukan-pasukan Belanda…
-2001-
Peristiwa gerbong maut ini diawali ketika pasukan Belanda telah berhasil menduduki Bondowoso. Pada tanggal 22 Pebruari 1947 pasukan-pasukan Belanda menyerang Bondowoso dan berhasil mendudukinya. Pasukan Republik mundur ke gunung-gunung dan melanjutkan perjuangan secara gerilya. Para pemuda pejuang tidak tinggal diam. Hampir setiap malam mereka melakukan serangan-serangan ke markas VDMB (Veiliqheids Dienst Mariniers Brigade). Akibat serangan-serangan yang dilancarkan secara terus menerus itu menyebabkan persediaan peluru semakin menipis. Untuk mencari peluru maka harus turun gunung atau pergi ke kota. Oleh karena itu Pak Singgih seorang pimpinan Barisan Pemberontak Indonesia pergi ke kota dan berhasil menjalin hubungan dengan seorang anggota VDMB dan berhasil mendapatkan tambahan peluru. Meskipun kegiatan itu berlangsung secara rahasia namun Belanda berhasil mencium gelagat penyelewengan tersebut. Singgih berhasil disergap ketika sedang membagi-bagikan peluru di rumahnya. Ia tidak berhasil mengadakan perlawanan karena rumahnya telah dikepung Belanda dengan ketat. Singgih ditangkap jam 09.00 pagi tanggal 20 September 1947. Sejak hari itu Singgih dan kawan-kawan seperjuangannya mengalami siksaan berat di tahanan. Mula-mula mereka disekap dalam WC selama beberapa hari setelah itu barulah dipindahana ke penjara Bondowoso.
Selain Singgih pejuang Boeharnuddin mempunyai pengalaman yang lain bagaimana ia bisa ditangkap Belanda. Pada saat itu Boeharnuddin dengan para pejuang lainnya berusaha meninggalkan Kota Jember untuk melakukan perang gerilya di hutan-hutan. Berbulan-bulan ia melakukan penyerbuan dan menghadang tentara Belanda, maju untuk mengadakan penyergapan Belanda dan mundur setelah berhasil mengadakan penyergapan.
Boerhanuddin bukan saja tugasnya mengadakan penyerangan, tetapi juga mencari senjata dan bahan makanan lainnya untuk para pejuang. Dalam berjuang melawan Belanda di hutan-hutan, bersama-sama Boerhanuddin antara lain R. Badroessapari, Sutjipto Yudo Dihardjo, Majend. Magenda.Tepatnya tangal 23 November 1947 Boerhanuddin bersama pejuang-pejuang republik sedang beristirahat setelah melakukan tugas gerilya. Secara mendadak disergap oleh Belanda. Boeharnuddin bersama-sama sekitar 100 orang pejuang ditangkap Belanda. Para tahanan disiksa diluar peri kemanusiaan. Jam 15.00 para tawanan digiring dengan berbaris menuju stasiun Bondowoso untuk diangkut ke suatu tempat. Ternyata kereta api dari Banyuwangi tiba jam 19.00. Para tawanan dimasukkan di dalam gerbong barang tertutup dengan dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 24 orang, kedua 36 orang dan kelompok ketiga sebanyak 40 orang termasuk Boeharnuddin. Dalam perjalanan yang praktis dengan udara pengap, mulailah tragedi terjadi. Banyak para tawanan yang sudah tidak tahan lagi menahan rasa hausnya, mulailah para tawanan menggendor pintu kereta tertutup untuk minta minum. Namun jawaban yang diberikan Belanda adalah “boleh minum peluru”.
Suasana dalam gerbong sudah tidak bisa dibayangkan, satu demi satu mulai berguguran. Kebanyakan yang masih selamat adalah karena minum air seninya sendiri. Memasuki stasiun Pasuruan para tawanan sudah tak kuasa berdiri, yang masih bergerak adalah mereka yang dapat memeras keringatnya untuk diminum, termasuk Boeharnuddin yang selalu memeras keringatnya untuk diminum. Menjelang stasiun Bangil, Boeharnuddin mencoba bergelimpangan mencari sesuatu. Namun hanya mayat-mayat kawannya yang bergelimpangan dalam gerbong. Antara sadar dan tidak Boeharnuddin meraba sesuatu benda yang bulat, ditimbang dan diraba ternyata rambutan. Sebuah rambutan itu dimasukkan ke dalam mulutnya untuk menahan rasa haus sampai memasuki stasiun Wonokromo. Kereta sampai di stasiun Wonokromo sekitar pukul 13.00, jadi kereta sudah berjalan sekitar 19 jam dari stasiun Bondowoso.
Memasuki stasiun Wonokromo, gerbong para tawanan dibuka ternyata, tak seorangpun yang keluar karena tak kuasa untuk berdiri. Boeharnuddin bersama Karsono dengan sisa kekuatannya merangkak keluar dan mulai berteriak-teriak kepada tentara Belanda mengatakan bahwa semua orang telah tewas. Namun Belanda tidak mempercayainya. Semua tawanan mulai disepak dikeluarkan dari gerbong yang ternyata semua tawanan sudah tidak mampu berdiri lagi. Merasa sebagai tentara, maka Boehamuddin lari mencari air tanpa memperdulian bahaya apa yang akan menimpa dirinya. Dan air didapat dari talang kereta api dan mulailah Boeharnuddin dengan sisa-sisa kekuatannya memberikan air kepada tawanan lainnya yang masih tergeletak. Dengan kekuatan seadanya maka para tawanan disuruh untuk mengumpulkan tawanan yang sudah meninggal. Tawanan yang meninggal berjumlah 46 orang sedangkan yang sekarat berjumlah 56 orang. Mayat dikumpulkan dan ditumpuk di depan stasiun Wonokromo, layak sebuah onggokan barang. Semua mayat setelah itu diangkut dengan truk militer ke rumah sakit Karang Menjangan. Para tawanan yang masih hidup mulai dikumpulkan di penjara Bubutan. Karena Boehamuddin yang semula mengaku sebagai tentara, maka bersama Karsono diserahi tugas sebagai kepala tawanan yang tugasnya memegang kunci dan melayani para tawanan.
Selama setengah bulan para tawanan menjadi penghuni penjara Bubutan. Mereka dijaga keras dan tidak diperbolehkan berkumpul dengan tawanan lainnya. Barang siapa mendekati mereka dalam jarak 10 m akan ditembak mati. Mengenai mayat-mayat korban gerbong maut tidaklah diketahui dengan pasti dimana mereka dikuburkan. Ada yang mengatakan jenazahnya dibuang ke Sungai Wonokromo ada yang mengatakan bahwa mereka dikuburkan di Sidoarjo.
Peristiwa biadab diluar peri kemanusiaan tersebut mula-mula dirahasiakan oleh algojo-algojo Belanda, akan tetapi beberapa hari kemudian Radio Australia menyiarkan tragedi itu sehingga dunia internasional mengetahui kekejaman tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia yang secara sah telah merdeka. Hal ini membuat perubahan sedikit perilaku kekejaman mereka dengan jalan merubah cara pengangkutan tawanan dari pengangkutan tertutup menjadi pengangkutan terbuka, meskipun para tawanan tetap saja dikerangkeng dan diborgol.
Di Bubutan ke-54 tawanan disekap selama 5 bulan dan akhimya dipindahkan ke penjara Klakah sampai Belanda bertekuk lutut. Sepulang dari penjara Klakah, Boeharnuddin mulai kehilangan keseimbangan fisiknya. Makannya hanya sekedar pemberian dari saudara-saudara dan teman-temannya yang simpatik atas perjuangannya.
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Dra. G.A. Ohorelle, Drs. restu Gunawan, Sejarah lokal : Peranan Rakyat Besuki (Jawa Timur) Pada Masa Perang Kemerdekaan. Jakarta : Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan departemen Pendidikan Nasional, 2001.