Perjalanan Asmara Pengantin Tebu
-Juni 2009- Panen tebu melimpah ruah, saatnya masuk ke musim giling Namun sebelumnya sebagai pertanda syukur pada Sang Kuasa, perlu…
-Juni 2009-
Panen tebu melimpah ruah, saatnya masuk ke musim giling Namun sebelumnya sebagai pertanda syukur pada Sang Kuasa, perlu digelar sebuah upacara pernikahan yang unik.
Ada saja cara masyarakat dalam mensyukuri hasil bumi. Salah satunya seperti yang terjadi di Pabrik Gula Meritjan, Mojoroto, Kediri beberapa waktu lalu telah diadakan mantenan tebu.
Apa yang berlangsung di Mojoroto, Kediri, sama halnya di beberapa pabrik gula lainnya yang ada di Jawa Timur. Setelah melewati musim panen tebu, dan masuk ke musim buka giling di gelar beberapa upacara atau kegiatan. Mulai dari wayangan, pengajian, ludruk, jalan sehat, tumpengan, pasar rakyat, dan masih banyak lainnya. Dan, salah satunya seperti di Kediri ini. “Kalau di tempat kami sebelum masuk musim giling, ya diadakan beberapa kegiatan seni rakyat dan puncaknya adalah upacara mantenan tebu”, kata Pudjianto, Ketua APTR Mojoroto, Kediri.
Beberapa hari menjelang prosesi mantenan tebu, jalanan di kawasan Pabrik Gula Meritjan dipenuhi lapak-lapak pedagang kakilima. Bahkan panitia acara mulai pagi hingga malam hari menyuguhkan berbagai kesenian rakyat sebagai hiburan. Suasana pun pun berubah makin ramai.
Untuk prosesi mantenan tebu sendiri diadakan oleh masyarakat setempat, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) dan jajaran pengurus Pabrik Gula Meritjan.
Mantenan ini digelar sebagai pertanda musim giling tebu telah dibuka. Setelah para petani tebu menuai hasil panen melimpah. Karenanya untuk mengiring rasa syukur pada Sang Kuasa digelar mantenan tebu. Dengan dipimpin tokoh adat setempat, ritual mantenan dimulai. Lengkap diiringi beberapa orang berpakaian berpakaian ala Jawa dengan mengenakan beskap. Mereka mengawali prosesi ini dengan melakukan kirab terlebih dahulu.
Di dalam kirab yang menempuh jarak 2 kilometer, di baris paling depan beberapa orang berpakaian adat Jawa itu membawa tandu yang dinaiki sepasang pengantin tebu. Pasangan pengantin ini hanyalah boneka yang terbuat dari tebu. Layaknya pasangan manusia, warga begitu kreatif dalam menciptakannya. Mirip sekali. Ada yang lelaki dan ada pula yang wanita. Kirab berjalan perla han menuju ke Pabrik Gula Meritjan untuk dilanjutkan masuk ke tempat penggilingan tebu. Sampai di pabrik rombongan pengantin disambut meriah oleh tarian jaranan Kediri.
Sayup-sayup bebunyian gending Jawa terdengar lirih bersama sorak sorai warga yang bermaksud menonton mantenan ini. Sementara itu beberapa pejabat Muspida Kediri dan administratur PG Meritjan bersiap untuk menerima seserahan pasangan manten tebu, yang dibawa oleh sesepuh desa setempat.
Pasangan manten tebu pun telah diserahkan. Untuk kemudian dibawa beramai-ramai menuju tempat penggilingan tebu. Menuju kesana di belakang tandu pengantin, ada 13 batang tebu yang dibawa oleh para pengiring mantenan. Selain itu, ada pula beberapa orang yang membawa kembang mayang, dan janur kuning.
Setelah pasangan mantenan tebu, 13 batang tebu, kembang mayang, dan janur kuning dibawa masuk ke ruang penggilingan tebu. Di dalam sana sudah menanti ratusan orang untuk menyaksikan puncak dari prosesi mantenan tebu. Riuh mereka bersaing dengan suara mesin penggilingan yang telah menyala hidup.
Tak berselang lama, sepasang boneka mantenan tebu dimasukkan ke dalam mesin penggilingan. Menyusul kemudian 13 batang tebu, kembang mayang, dan janur kuning. Semua digilas habis hingga berurai oleh mesin penggilingan.
Momen inilah yang paling dinanti-nantikan warga. Maksud hati ingin berebut sisa dari penggilingan mantenan tebu. Tapi ketatnya beberapa petugas yang mengamankan jalannya prosesi mantenan, memaksa warga tak berhasil meraih sisa-sisa penggilingan yang konon dipercaya membawa berkah.
“Sisa penggilingan mantenan tebu itu dapat membawa berkah pada hasil panen kedepan. Tapi sayang jika tidak diperbolehkan mengambilnya”, gerutu salah seorang warga.
Rendemen
Dalam arak-arakan mantenan tebu di belakang tandu pengantin boneka tebu, nampak beberapa orang berjalan beriring sambil membawa 13 batang tebu. Yang mana itu menyimbolkan target rendeman yang telah diharapkan oleh APTR dan administratur Pabrik Gula Meritjan.
Menurut keterangan panitia acara setiap kali di mantenan tebu. Batangan tebu yang dibawa sebagai simbol rendemen selalu berbeda. Karena rendemen tebu sendiri memiliki arti kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Misalnya bila dikatakan rendemen tebu 10 persen, artinya bahwa dari 100 kilogram tebu yang digilingkan di pabrik gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kilogram. Dan, pada musim giling tahun ini target rendemen adalah angka 13 seperti yang dibawa pada kirab mantenan tebu.
Secara garis besar, harapan nanti yang dapat dicapai saat mulai penggilingan target rendemen ini dapat tercapai. Demikian seperti yang diutarakan Samsul Ashar, Walikota Kediri di acara resepsi mantenan tebu.
Dihadapan ratusan undangan yang hadir, Samsul Ashar mengatakan semoga pasokan gula yang dihasilkan petani tebu kita dapat terpenuhi. Karena kebutuhan pasokan gula setiap tahun makin meningkat. “Dengan pasokan yang terus meningkat dan memenuhi target rendemen, maka Kediri dapat dijadikan salah satu andalan penghasil gula terbaik dan terbanyak,” paparnya.
Melestarikan Budaya
Mantenan tebu di Meritjan, Mojoroto, Kediri adalah salah satu tradisi yang melanjutkan adat budaya yang pernah ada. Menurut sejarahnya, mantenan ini telah ada sejak tahun 1975 silam. Namun sayangnya, di tahun itu tradisi sakral ini berhenti.
Beruntung berkat kesadaraan warga setempat akan pentingnya acara ini, maka pada tahun 2007 lalu mantenan tebu kembali digelar. Bukti lain kalau mantenan tebu tetap lestari hingga tahun 2009 ini acara serupa masih digelar, meski dikemas sedikit berbeda. Dari keterangan panitia acara menjelaskan jika sejarah mantenan tebu, bermula dari kebiasaan Raden Sardono yang sangat mencintai tumbuh-tumbuhan. Salah satunya adalah tebu.
Dalam hidupnya Raden Sardono tak pernah berhenti untuk mesyukuri hasil bumi ini. Dan, bentuk syukur itu bermacam-macam wujudnya. Tergantung warga yang mau tetap melestarikannya.
Hingga suatu saat Raden Sardono berpesan pada sang Istri Dewi Sri, sebagai lambang kesuburan, dirinya harus terus melestarikan segala jenis tumbuhan maupun tanaman . Karena dengan merawat dan menjaga dengan baik, niscaya Sang Kuasa memberikan hasil bumi yang melimpah ruah.
Karena itu, untuk menghargai jasa Raden Sardono dan Dewi Sri. Masyarakat petani tebu di Mojoroto Kediri menggelar upacara ad at mantenan tebu. Di samping itu inti daripada acara ini adalah untuk meminta berkah kepada Sang Kuasa, agar dalam proses memasuki musim giling tebu di PG Meritjan dapat berjalan lancar, hasil panen senantiasa melimpah, dan semua orang yang terlibat selamat.
Beberapa harapan inilah yang dijadikan alasan digelarnya mantenan tebu. Yang kiranya dapat menjadi bukti asmaradi balik kisah mantenan tebu. Rasa syukur dan harapan warga akan tebu yang dihasilkan dari lahan garapan, melebur menjadi panjatan hati pada Sang Kuasa. ejt m rido’;· foto, wt atmojo
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : Easjava Traveler, Etalase Wisata Jawa Timur, EDISI 29, Tahun II, Juni 2009, Hlm. 14-17.
Comments
Kepercayaan yang sulit dilacak asal muasalnya.
Tapi tetap harus dipelajari, atau hanya akan jadi rutinitas yang tidak jelas artinya.
Semoga segera ada penelitiannya, kami tunggu kalau ada info tentang tersebut…