Saturday, December 7, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Etos Kerja Sub-Etnik Surabaya

-2007- Orang Jawa Sub-Etnik Surabaya: Etos Kerja Sub-Etnik Surabaya Sugeng Adipitoyo Sub-etnik Surabaya kelompok andhus memiliki pandangan hidup bahwa bekerja adalah…

By Pusaka Jawatimuran , in Seni Budaya Surabaya , at 08/11/2011 Tag: , , , ,

-2007-

Orang Jawa Sub-Etnik Surabaya: Etos Kerja Sub-Etnik Surabaya
Sugeng Adipitoyo

Sub-etnik Surabaya kelompok andhus memiliki pandangan hidup bahwa bekerja adalah untuk hidup. Mereka lebih banyak melakukan pekerjaan, baik itu bertani  maupun berdagang, hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Mereka berada pada wilayah ekonomi subsistensi, bekerja untuk memperoleh penghasilan dan bisa untuk makan atau bertahan hidup. Mereka bekerja tidak untuk mengumpulkan kekayaan. Mereka sadar bahwa kaya dan miskin itu “wis cinorek” dan “urip saderma nglakoni”. Oleh sebab itu mereka paham kalau ditakdirkan kaya tentu akan ada jalannya. Sebaliknya, bekerja siang malam sekalipun, kalau “Wis cinorek” menjadi miskin yang bersangkutan akan tetap miskin.

Pemahaman tentang bekerja seperti di atas, sudah banyak disingkirkan oleh kelompok sub-etnik Surabaya yang biasa. Mereka sangat tidak menyetujui pemahaman kelompok andhus tadi. Mereka memahami bahwa hidup untuk kerja, “Wong urip ya kudu nyambut gawe”. Ungkapan ini, disamping memberi indikasi bahwa orang Surabaya kelompok biasa suka bekerja, juga berimplikasi pada tujuan mereka bekerja. Mereka bekerja untuk memperoleh kehidupan yang layak, bukan sekadar untuk hidup apalagi hidup ala kadarnya. Mereka selalu mengatakan “supaya bisa urip temen, ya kudu nyambut gawe”. Berkait dengan semboyannya “kalah cacak menang cacak”, mereka senantiasa giat bekerja, reaktif dan kompetitif atau kontestatif. Mereka selalu berupaya untuk bekerja yang lebih baik dan memperoleh penghasilan yang lebih baik pula. Oleh sebab itu, kerap kali ditemui orang Surabaya kelompok ini bekerja berpindah-pindah, dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Mereka mencari kerja yang sesuai dengan “urip sing temen”, mereka tidak ingin dalam kehidupannya menjadi “urip-uripan” ataupun “golek urip.

Selain hal di atas, mereka sangat menghargai pekerjaannya, dan demi pekerjaan mereka rela bertengkar, bahkan mengorbankan dirinya. Mereka tidak ingin menjadi gelandangan, tidak ingin “kalung umplung turut embong”. Mereka suka menyumpahi orang-orang yang malas bekerja, atau menyia-nyiakan pekerjaannya dengan kata-kata “kepengin kiakon kaiung umpiung turut embong”.

Begitulah sekelumit gambaran tentang keberadaan dan kejatian sub-etnik Surabaya. Kondisi wilayah keberadaan sub-etnik Surabaya yang begitu cepat mengalami perubahan dan juga kejatian sub-etnik tersebut yang berimplikasi adanya perubahan harus berinteraksi dengan perubahan dari luar. Bersama dua bentuk perubahan itu menjadikan sub-etnik Surabaya sangat rumit untuk diamati. Sebagaimana proses segregasi sub-sub- etnik Surabaya di tengah kota Surabaya yang berlangsung begitu cepat, menjadi potret pergumulan antara sikap dan perilaku aktif serta reaktif sub-etnik Surabaya yang berimplikasi terbuka terhadap perubahan dengan perubahan.

Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Pemataan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur: Sebuah Upaya Pencarian Nilai-nilai Positif; editor Ayu Sutarto, Setya Yuwana Sudikan, Jember: Pemprov Jatim dan Komppyawisda Jatim, 2007. Hlm. 114

Comments


Leave a Reply