Mbah Bungkul Surabaya: Pembuat Pusaka Majapahit
-Juli 2005- Surabaya, adalah kota metropolitan kedua setelah Jakarta. Kota yang berjuluk Kota Pahlawan ini menyimpan banyak situs berharga dalam…
-Juli 2005-
Surabaya, adalah kota metropolitan kedua setelah Jakarta. Kota yang berjuluk Kota Pahlawan ini menyimpan banyak situs berharga dalam sejarah Islam pula Jawa. Hanya saja dalam perkembangannya situs-situs tersebut kalah dengan hingar-bingar metropolis Surabaya. Sebut saja Masjid Ampel, makam Sunan Ampel, Kembang Kuning, Kampung Sidoresmo Dalem yang dikenal wilayah santri di Surabaya. Belum lagi majlis-majlis ta’lim seperti yang diasuh oleh Gus Asrori di Kenjeran Surabaya.
Pada edisi ini CN menampilkan satu dari sekian banyak khazanah Islam Surabaya, yaitu makam Mbah Bungkul Surabaya. Makam Mbah Bungkul atau dalam sejarah disebut Ki Ageng Supa Bungkul terletak di tengah Taman Bungkul Surabaya. Kira-kira seratus meter sebelah utara masjid al-Falah Surabaya.
Asal Mbah Bungkul adalah dari kerajaan Malaka. Kedatangannya di daerah Jawa adalah untuk berdakwah agama Islam. Di pulau Jawa beliau menetap di kerajaan Majapahit. Saat itu Majapahit di bawah kekuasaan Raja Brawijaya. Karena keahlian yang dimiliki, oleh raja Majapahit beliau dijadikan pembuat pusaka kerajaan atau Tukang Pande Kerajaan. Sudah tak terhitung berapa banyak pusaka kerajaan Majapahit yang beliau buat. Dalam perkembangannya posisi beliau di kerajaan Majapahit setara dengan seorang menteri bagian persenjataan kerajaan.
Nama asli beliau tidak diketahui dengan pasti. Adapun sebutan mbah Bungkul karena setiap harinya beliau selalu mengenakan Bungkul. Sejenis kelampen (bakiya atau bengkiyak; Jawa-red) tanpa karet tapi menggunakan sebuah kayu kecil bulat seperti jamur terletak di depan untuk tautan jari kaki.
Sejarah keberadaan makam beliau di Surabaya juga masih menyimpan banyak misteri. Apakah daerah sekitar makam itu dulu merupakan sebuah kampung? menurut penuturan bapak Siswanta, 48, bahwa daerah Bungkul ini dulu bukanlah sebuah kampung. Keberadaan Mbah Bungkul di daerah ini adalah dalam rangka menyepi atau uzlah untuk proses penyempurnaan jiwa. Atau dalam istilah pesantren dikenal Tirakatan.
Dalam perjalanannya ke Bungkul ini beliau ditemani oleh empat orang teman setianya. Diantaranya bernama Jeng Rono dan Tumenggung Rono. Hingga akhir hidupnya beliau menetap di daerah bungkul ini. Demikian pula dengan empat orang teman beliau, keempatnya dimakamkan berdampingan dengan makam beliau. Kompleks makam Mbah Bungkul ini memang agak aneh. Tidak ada nama pada batu nisan atau keterangan lain yang menunjukkan siapa-saja yang dimakamkan di pemakaman tersebut. Bahkan tidak diketahui dengan pasti yang mana makam Mbah Bungkul yang sebenarnya. Menurut Siswanto yang tinggal beserta keluarganya di pemakaman tersebut mengungkapkan, “sejak dulu memang demikian, tidak ada nama atau petunjuk lain. Khawatir jika diketahui dengan pasti yang mana makam mbah Bungkul akan disalahgunakan oleh masyarakat”.
Di kompleks makam yang rindang ini dihuni oleh delapan keluarga yang diyakini merupakan keturunan Mbah Bungkul. Terdapat pula sebuah sumur tua peninggalan Mbah Bungkul. Sumur ini tidak pernah kering meski musim kemarau. Padahal sebagian besar sumur di Surabaya kering pada saat kemarau. Tidak sedikit pula peziarah yang minta air sumur tersebut untuk obat. Dengan izin Allah banyak yang sembuh.
Haul Mbah Bungkul dilaksanakan tiap akhir sya’ban. Makam beliau tidak pernah sepi dari peziarah. Pada hari-hari tertentu banyak peziarah dari Kalimantan, terutama Banjarmasin. Hal ini tidak lain masih adanya hubungan antara Kerajaan Majapahit dengan pangeran Suryansyah (Banjarmasin).
Dalam lingkup sejarah Wali Sanga beliau dikenal sebagai mertua Sunan Giri (Raden Paku), Gresik. Konon suatu hari beliau membuat sayembara barang siapa yang menemukan buah delima miliknya yang jatuh di sungai maka akan jika ia laki-laki akan dijadikan menantu, dinikahkan dengan putri beliau Dewi Wardah, jika perempuan akan diangkat menjadi anaknya. Ternyata buah itu ditemukan oleh Raden Paku yang tengah mengambil air wudlu’ di Sungai. Konon sungai dimaksud adalah sungai Kali Mas Surabaya. Oleh karenanya ketika Mbah Bungkul mengetahui bahwa delima itu telah ditemukan, ia segera menemui Sunan Giri dan mengutarakan hadiah yang akan diberikan bagi yang menemukan delima tersebut. Padahal pada hari yang sama, beliau akan melaksanakan pemikahan dengan Dewi Murthasiah, putri Sunan Ampel. Akhirnya pada hari yang ditentukan beliau menikah dua kali dalam sehari. M. Nawawi
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : Cahaya NABAWIY, Majalah Dakwah bulanan, No. 31, Th. III Jumadil Ula 1426 H/ Juli 2005 M