Sunday, September 8, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Batik Sidoarjo

Potret Kebangkitan Batik Suasana lengang, sepi dan sesekali beberapa motor melewati jalan Jetis daerah pasar batik Sidoarjo. Di kesepian “kampoeng”…

By Pusaka Jawatimuran , in Kesenian Seni Budaya Sidoarjo Th. 2010 , at 06/10/2011 Tag: , , , , , ,

Potret Kebangkitan Batik

Suasana lengang, sepi dan sesekali beberapa motor melewati jalan Jetis daerah pasar batik Sidoarjo. Di kesepian “kampoeng” itu tersebar rumah para perajin batik. Jetis merupakan salah satu sentra Batik terbesar di Sidoarjo. Usaha batik di Jetis, Kecamatan Tulangan, Sidoarjo sudah dimulai sejak 1975. Rumah-rumah bergaya “tempoe doeloe” dengan jendela besar dan jeruji besi yang antik, memberikan nuansa kejayaan para juragan batik beserta perajinnya.

Batik Sidoarjo hampir tinggal sejarah. Dalam kondisi pasar yang tidak menentu, bahanbakuyang tidak stabil harganya, kualitas kain, serta jumlah perajin batik yang semakin sedikit, para pengusaha dan perajin batik ini tetap menjalankan usahanya.

Krisis moneter 1997 membuat pengusaha batik di Sidoarjo bangkrut total. Mereka menutup gerainya, meninggalkan canting dan malam, kemudian beralih ke profesi yang lain yang lebih menjanjikan. Jumlah perajin semakin menurun, apalagi generasi muda  enggan meneruskan warisan budaya yang sekaligus usaha yang dapat menjamin kehidupan.

Di balik krisis itu, ada cerita lain yang menimpa Ny. Faina Hartono (47) yang diberhentikan dari tempat kerjanya. Dalam situasi terdesak, muncul ide cemerlang, merintis karir sebagai pengusaha baik tulis. Berbekal ilmu membatik yang ia tekuni sejak 1968 (saat masih sekolah dasar), Ny. Faina merintis usahanya kembali. Modal uang hampir tidak ada, kecuali skill serta trust. Dia optimistis, usaha yang dikerjakan dengan ikhlas, tekun, insya Allah, sukses.

Kurang dari dua tahun, Batik Kenongo langsung melejit di Sidoarjo dan sekitarnya, juga Jawa Timur. Batik Sidoarjo yang sempat mati suri pun hidup lagi; bahkan berhasil menembus pasar Asia Tenggara, Jepang dan negara-negara lain.

Semangat “Sidoarjo Bangkit” yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, pun ikut mendorong para pengusaha dan perajin batik untuk ikut bangkit pula. Pada 3 Mei 2008 diresmikan “Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo” sebagai salah satu tujuan wisata yang tujuan utamanya untuk kembali meraih kejayaan batik Sidoarjo.

Angin kebangkitan berembus lebih kencang setelah batik diakui sebagai warisan budayaIndonesiaoleh Unesco pada 2 Oktober 2009. Pemerintah memberikan dukungan dengan karnpanye cinta batik. Batik mulai ditengok kembali oleh pecinta mode,  termasuk kalangan muda dan selebritis. Bahkan dunia mulai menghargai batikIndonesiasebagai eksotisme dunia mode.

Ny. Faina adalah salah satu pengusaha batik Sidoarjo  yang berhasil lolos dari  “tekanan”  sepinya usaha batik di Jetis. Bahkan Batik Kenongo, yang sebenarnya trade mark dari usaha Ny, Faina, menjadi semacam genre batik Sidoarjo.SekarangNy. Faina mempekerjakan ratusan perajin yang tersebar di seantero Kecamatan Tulangan.

Pada umumnya para perajin batik Jetis menghasilkan batik tulis katun berupa sarung, kain panjang, dan selendang. Batik Sidoarjo mudah dikenali pada motif khas flora dan fauna – udang, ikan, daun sirih-dengan warna-warna

cerah merah, hijau, kuning, hitam.

Motif yang dipertahankan oleh Batik Kenongo, menjadi pakem batik khas

Sidoarjo. “Warna-warnanya gelap dengan motif alam Sidoarjo yang juga dikenal

sebagai daerah penghasil udang,” kata Ny. Faina yang pernah meraih Kartini

Award versi Pemkab Sidoarjo itu.

“Warna-warna yang lembut pernah dicoba, namun ternyata tidak disukai konsumen,” tukasnya.

“Bahan pewarna semuanya dari alarn,” jelasnya. “Saya pakai daun -daunan,” tarnbahnya menegaskan, “Pokoknya, 100 persen daun-daunan. Nggak pakai pewarna sintetis. Daun apa saja bisa dipakai untuk batik, dan hasilnya lebih bagus disbanding bahan kimia.”

Berkat ketekunan dan kegigihan menjaga pakem, konsumen Batik Kenongo melebar hingga ke negara manca negara. Orang Jepang jadi pelanggan tetap. Mereka bisa datang hingga empat kali dalam sebulan. Ini belum termasuk warga Jepang yang tinggal diSurabayaatauJakarta. “Mereka tidak pernah menawar karena tahu begitu rumitnya membatik,” kata Ny. Faina Hartono.

Yang menarik, beberapa waktu lalu ada orang Jepang, tinggal di rumahnya selama hampir satu tahun untuk belajar membatik. Mereka ingin merasakan bagaimana seluk-beluk membuat batik tradisional khas Sidoarjo.

Batik Kenongo 100 persen dikerjakan dengan tangan – tidak ada intervensi mesin. Ny. Faina mengerjakan sendiri menggambar desain. Proses -pembatikan dengan malam  dan sebagainya- diserahkan kepada ibu-ibu rumah tangga di Tulangan. Saat ini sedikitnya 200 ibu rumahtangga di Tulangan ‘bekerja’ untuk Batik Kenongo.

Tulangan sejak dulu punya tradisi membatik Para ibu rumahtangga disanapunya skill turun-temurun. “Ibu- ibu memanfaatkan waktu luang untuk menggarap batik di rumahnya,” cerita Ny. Faina Hartono “Setelah selesai, hasilnya diserahkan dan mengambil “garapan” lagi.”

Siklus kerja macarn ini sudah berlangsung larna bagi perempuan-perempuan desa di Tulangan.

“Menggarap batik itu tidak boleh ‘kesusu’ (terburu-buru). Harus dihayati

sebagai karya seni,” ujarnya.

Ada·masukan agar desain menggunakan sistem komputer agar lebih

rapi dan cepat. Narnun menurut Ny. Faina, salah satu kelebihan batik tradisional

Sidoarjo justru pada sentuhan seni yang dikerjakan dengan tangan, bukan dengan mesin atau komputer. “Sarna-sarna rapinya, tapi batik tangan lebih seni,” ujar dia.

Karena itu, Ny. Faina tidak suka terhadap konsumen yang memberikan

order dengan batas waktu yang cepat; apalagi dalam jumlah banyak. “Manusia

kanbukan mesin.” “Batik yang berkualitas dikerjakan dengan tekun, sedikit-sedikit; hasilnya akan memberikan kepuasan batin daripada menggarap banyak (dapat uang banyak), tapi hasilnya kedodoran.”

Namanya juga hasil kerajinan tangan, harga sehelai Batik Kenongo cukup mahal. Paling murah sekitar Rp 400 ribu. Yang pasti, gerai Batik Kenongo tak pernah sepi pembeli karena segmen pasarnya sangat khusus dan jelas.

Saat ini “Kampoeng Batik” sudah bangkit kembali. Beberapa bank pun kembali mempercayai para pengusaha batik untuk mendapatkan kredit usaha

kecil. Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga ikut mendorong kebangkitan batik di Jawa Timur umumnya dengan mengadakan pameran-pameran seperti yang sebelumnya pernah diadakan di Jatim Expo dan Gramedia Expo dan berbagai tempat lainnya.

Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : Prasetya, Buletin Bulanan, Sumber Inspirasi Birokrasi, Volume II,17  Oktober 2010