Wednesday, October 9, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Sekilas Perang Puputan Bayu, Kabupaten Banyuwangi

Disusun oleh: Hasan Ali Ketua Dewan Kesenian Blambangan 1. PENGANTAR (Bahasa Using: puput = habis; Puputan Bayu = Perang habis-habisan…

By Pusaka Jawatimuran , in Sejarah , at 12/09/2011 Tag: , , ,

Disusun oleh: Hasan Ali
Ketua Dewan Kesenian Blambangan

1. PENGANTAR

(Bahasa Using: puput = habis; Puputan Bayu = Perang habis-habisan di Bayu).
Perang Puputan Bayu adalah peperangan yang terjadi antara pasukan VOC Belanda dengan pejuang-pejuang Blambangan pada tahun 1771-1772 di Bayu (Kecamatan Songgon sekarang). Peperangan ini oleh fihak Belanda sendiri diakui sebagai peperangan yang paling menegangkan, paling kejam dan paling banyak memakan korban dari semua peperangan yang pernah dilakukan oleh VOC Belanda di manapun di Indonesia (Lekkerkerker, 1923 : 1056). Di fihak Blambangan, peperangan ini merupakan peperangan yang sangat heroik-patriotik dan membanggakan, yang patut dicatat, dikenang dan dijadikan suri tauladan bagi anak cucu kita dalam mencintai, membela dan membangun daerahnya, Bumi Blambangan.

Dalam Perang Puputan bayu tersebut pejuang-pejuang Blambangan dipimpin oleh Rempeg, yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Jagapati, seorang buyut Pangeran Tawang Alun, putra Mas Bagus Dalem Wiraguna (Mas Bagus Puri) dengan ibu dari desa Pakis, Banyuwangi (Pigeaud, 1932: 255). Rempeg atau Pangeran Jagapati ini oleh Pengikutnya dipercaya sebagai titisan Wong Agung I yang legendaris (yang juga masih buyut Pangeran Tawang Alun). Karena itu oleh Belanda Rempeg atau Pangeran Jagapati ini disebut dengan sebutan “Pseudo Wilis”, Wilis-semu. Rempeg dengan hampir seluruh pengikutnya, sepcrti Patih Jagalara, Mas Ayu (Sayu) Wiwit, Bekel-bekel Utun, Udhuh, Runteb dan lain-lain, gugur dengan gagah berani dalam Perang Puputan Bayu tersebut.

2. JALANNYA PEPERANGAN
Setelah VOC Belanda dapat menduduki Banyualit pada tahun 1767 dan kemudian Ulu Pangpang dan Lateng (Rogojampi), dan setelah gagalnya serangan Pangeran Puger (putra Wong Agung Wilis) terhadap benteng VOC di Banyualit, dan kemudian dengan tertangkap dan dibuangnya Wong Agung Wilis ke Pulau Banda, maka mulailah praktik sistem penjajahan yang paling mengerikan yang dilakukan oleh VOC Belanda terhadap seluruh rakyat Blambangan pada waktu itu. Untuk memperoleh gambaran yang obyektif tentang penindasan tersebut. Kami kutip tulisan C. Lekkerkerker, seorang penulis/sejarawan Belanda dalam “Blambangan” di Indische Gids· 1923 :

” … Colmond (komandan tertinggi pasukan VOC Belanda di Blambangan pada tahun-tahun 1769-1770. Pen). Komandan baru itu bcrwatak keras. Tindakan-tindakannya itu telah ikut membuat dasar bagi timbulnya peristiwa-peristiwa yang mengerikan, yang mengancam keselamatan negeri ini pada tahun-tahun 1771 dan 1772 Van Wikkerman bercerita — dan sesungguhnya dokumen-dokumen resmi sebenarnya telah membenarkannya — bahwa dia (Colmond) mengirimkan patroli-patroli ke seluruh negeri ini di bawah pimpinan Hounold dan Heilbronner untuk menyita semua beras dan bahan makanan lainnya dan mengangkutnya, dan apabila tidak dapat diangkut, dia menyuruh membakarnya. Pada musim hujan berikutnya dia menyuruh menanami sawah-sawah itu kembali atas perintah yang memaksa. Setelah mana panennya pun disita lagi.

Selain itu dia menyuruh rakyat bekerja paksa untuk membangun dan memperkuat benteng VOC di Ulu Pangpang dan Kuta Lateng. Memerintahkan mereka membuat jalan-jalan. Membersihkan pepohonan yang ada diantara laut dan benteng di Ulu Pangpang, membuat penangkis air di Gunung Ikan (yaitu jazirah yang menutupi Teluk Pangpang) untuk pengawasan atas gerak-gerak orang-orang Bali. Tetapi ia tidak menyediakan makanan bagi mereka, kesengsaraan, kelaparan, serta kekurangan, penyakit, jumlah kematian yang tinggi. Pelarian ke hutan adalah akibat tindakan tindakannya di atas ………………. ” (Lekkerkerker. 1923 :1054-1055).

Kekejaman di atas belum lagi ditambah dengan tindakan-tindakan para penguasa VOC terhadap para wanita pribumi, baik gadis, janda dan bahkan isteri orang seperti dilakukan oleh Adipati Jeksa Negara (Adipati Blambangan yang diangkat oleh VOC pada waktu itu) terhadap isteri Ki Samila (Bid 1923: 1056).

Karena berbagai hal di atas, Rampeg, yang semula bekerja kepada Ki Samila, menyingkir ke Bayu dan menyusun kekuatan untuk menyerang dan mengusir VOC Belanda dari Blambangan. Tindakannya ini timbul dari golongan hati nuraninya sendiri dan sama sekali bukan karena pengaruh Bali (Ibid. 1923 : 1057). Banyak penduduk Pangpang dan dari daerah-daerah lain di seluruh Blambangan yang bergabung dengan Rempeg di Bayu, sehingga Bayu berkembang menjadi satu kekuatan yang dianggap sangat berbahaya bagi kedudukan VOC di Blambangan.

Khawatir akan kekuatan yang disusun di Bayu, VOC mulai menyusun dan menghimpun kekuatan yang luar biasa besar, dengan mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Jawa Tengah dan dari para adipati taklukannya di seluruh pesisir utara Jawa Timur dan Madura.

Secara kronologis, seperti yang diceritakan oleh C. Lekkerkerker (yang sebahagiannya dihimpun dari catatan J.K.J. de jonge, De Opkomst van het Nederlandsch Gezeg in Oos-Indie), mulai dari perhimpunan kekuatan sampai meledak menjadi suatu peperangan yang mengerikan, dapat diinformasikan sebagai berikut:

1) Pada bulan Mei 1771 terbongkar oleh VOC bahwa adipati-adipati yang semula di angkatnya, Suta Negara dan Wangsengsari, serta Patih Sura Teruna (kecuali Patih Jeksa Negara) memihak kepada Rempeg dan menjalin hubungan dengan Bali. Pada bulan Juni 1771 itu juga ketiga tokoh pejuang tersebut (yang masih keturunan Pangeran Tawang Alun) dengan seluruh keluarganya dibuang ke Sri Langka. Kemudian patih Jeksa Negara diangkat sebagai adipati tinggal di Blambangan (Ibid 1923: 1055). Dari peristwa tersebut kiranya tampak bahwa bukan hanya rakyat jelata yang paling tertindas yang memihak kepada Rempeg, bahkan juga hampir seluruh pembesar dan para bangsawan keturunan Tawang Alun bersatu dan memihak kepada Rempeg.
2). Pada tanggal 3 Agustus 1771, setelah diperkirakan semua persiapan yang dipusatkan di Lateng sudah cukup, VOC mengirim 70 orang pasukan bersenjata untuk menyerang Bayu, namun pasukan yang sebahagian besar terdiri dari orang-orang pribumi tersebut malah membelot dan memihak kepada Rempek (Ibid 1923: 1057).
3). Pada tanggal 5 Agustus 1771, Bicsheuvel (Residen Blambangan pada tahun 1767-1771 dengan pasukannya bergerak menyerang Bayu. Namun mereka kembali tanpa hasil, karena pertahanan Bayu yang sangat tangguh. Pada waktu yang bersamaan Schophoff (wakil Residen Biesheuvel) masuk ke desa-desa dengan maksud mempengaruhi penduduk untuk tidak memihak kepada Rempeg. Namun ketika mereka berada di desa Gambiran (Kecamatan Gambiran sekarang) bahkan diserang oleh sekitar 200 orang pejuang Blambangan setempat (Ibid. 1923 : 1057).
4). Pada bulan Agustus 1771 itu juga bupati dari pantai utara Jawa mengirimkan bala bantuan tentara di bawah komando Letnan Imhoff dan Letnan Montro ke Blambangan. Namun pada waktu yang bersamaan penduduk Blambangan yang berbondong-bondong bergabung ke Bayu juga tidak dapat dibendung lagi (Ibid. 1923 : 1057).
5). Pada tanggal 22 September 1771 Letnan Imhoff berhasil menerobos benteng pertahanan Bayu, namun lagi-lagi para anggota pasukannya yang pribumi membelot masuk hutan dengan senjatanya masing-masing, sedang pasukannya yang berkebangsaan Eropa, karena kehabisan amunisi dan luka-luka yang dideritanya, termasuk Imhoff, terpaksa mengundurkan diri dengan meniggalkan senjata-senjata berat (meriam) mereka. Untuk menutup kehancuran tersebut dan untuk persiapan penyerangan berikutnya ke Bayu, Biesheuvel meminta bantuan 1000 orang pribumi dan 150 orang tentara Eropa (Ibid. 1923 : 1057). Namun bersamaan dengan itu Pangeran Jagapati juga mendapatkan bantuan 300 orang dari Bali (Jembrana) lengkap dengan senjata dan bahan makanan yang diperlukan, dan berhasil mengepung benteng VOC di Kuta Lateng. VOC mengerahkan seluruh kekuatannya dengan mendatangkan bantuan tentara dari Garnisun-garnisun Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Pasuruan, dengan pasukan “Dragnonelers” dari Semarang sebagai pasukan inti (Ibid. 1923:1058).
6). Pada awal bulan November 1771 Biesheuvel meninggal di Ulu Pangpang dan digantikan oleh wakilnya, Hendrik Schophoff, yang menjabat sebagai Residen Blambangan sampai dengan tahun 1777. Pada bulan ini bantuan tentara VOC tiba di Ulu Pangpang di bawah Komando Kapten Reygesr dan Kapten Heinrich. Kemudian mereka dapat menghalau pengepungan pejuang-pejuang Blambangan atas Kuta Lateng. Sedang Kapten Reygers berhasil pula menghancurkan gudang persediaan makanan di Banjar (Kecamatan Glagah sekarang), menguasai Grajagan di pantai selatan (yang merupakan pelabuhan bantuan dari Bali) dan membakar sekitar 300 koyan (1 koyan = lebih kurang 1,75 ton) persediaan beras. Pada waktu yang bersamaan VOC mengeluarkan surat-surat pengampunan bagi penduduk yang mau meninggalkan Bayu dan kembali ke desanya masing-masing (Ibid.1923 : 1(58).
7). Pada tanggal 13 Desember 1771 Reygers dengan pasukannya bergerak ke Bayu. Pada tanggal 14 Desember 177 I Reygers menyerang benteng Bayu, namun gagal karena benteng Bayu ternyata sangat kuat, bahkan telah berbalik mereka menjadi bulan-bulan serangan pejuang-pejuang Bayu. Minggu dari tanggal 14 sampai dengan tanggal 20 Desember 1771 adalah merupakan minggu malapetaka bagi pasukan-pasukan VOC. Mereka menamakannya dengan istilah “Minggu kehancuran yang dramatis bagi pasukan VOC” (De Dranlatische Vernietiging van het Compagnieslegcr). Pasukan-pasukan VOC yang menyerang dari dua arah, yaitu dari Susukan dan Songgon, telah terjebak dan disergap oleh pejuang-pejuang Bayu dan dihancurkan habis-habisan. Reyhegers terluka parah di kepalanya dan kemudian meninggal di Ulu Pangpang. Kapten Heinrich juga terluka parah, sehingga pimpinan pasukan VOC diambil alih oleh Van Schaar (Ibid. 1923 : 1(58).
8). Tanggal 18 Desember 1771, yang merupakan puncak dari apa yang dikatakan oleh Belanda sendiri sebagai “De Dramatische Vernictiging Van Het Compagniesleger”, adalah tanggal yang sangat bersejarah bagi seluruh rakyat Blambangan, kama pada tanggal itu pejuang-pejuang Blambangan melakukan serangan umum secara “puputan” secara habis-habisan terhadap benteng pertahanan musuh. Para prajurit Blambangan maju ke medan tempur secara serentak dan mendadak dengan berteriak-teriak histeris untuk membangun semangat juang mereka dan meruntuhkan semangat musuh, dengan membawa senjata apa saja yang dapat digunakan sebagai senjata, seperti golok, keris, pedang, tombak dan senjata-senjata api yang diperoleh sebagai rampasan dari tentara VOC atau yang dapat dibelinya dari orang-orang Inggris yang sudah membuka kantor dagangnya di Tirtaganda (Banyuwangi). Rempeg, yang diberitakan selalu di depan dalam setiap pertempuran, gugur karena luka-lukanya dalam perang puput ini, namun pasukan VOC benar-benar dihancur-luluhkan. Sebagaian dari mereka digiring ke parit-parit jebakan yang telah disediakan dan dihujam dari atas. Van Schaar, komandan pasukan VOC, Letnan Koret Tinne dan terhitung banyaknya tentara Eropah (Belanda) lainnya yang terbunuh dalam peperangan tersebut. Dari tentara yang tersisa yang dapat melarikan diri, yang jumlahnya tidak seberapa dan umumnya dalam keadaan luka-luka dan sakit, pada tanggal 20 Desember 1771 dapat mundur ke Lateng dan kemudian diungsikan ke Ulu Pangpang (Ibid 1923 : 1(58). Kepala Van Schaar dipotong, ditancapkan ke ujung tombak, dan diarak keliling desa-desa. Sebagai akibat dari perang puputan tersebut, untuk sementara sambil menunggu bantuan tenaga dan amunisi, VOC bertindak defensif, dengan berusaha menutup jalan keluar dan ke dalam Blambangan, baik di darat maupun di Selat Bali. Kepada Schophoff diperintahkan oleh atasannya, Van den Burgh, agar memperlakukan rakyat Blambangan dengan “Lemah lembut” (Ibid. 1923 : 1(59).

CATATAN:

Menurut cerita Van Wikkerman (yang kemudian menjadi rcsiden di Blambangan pada tahun 1800-1818), mayat Van Schaar dipotong-potong, dimasak dan dimakan oleh para pemberontak yang buas (Ibid. 1923 1(59). Tentulah ini propaganda provokatif khas penjajah. Perlulah diketahui bahwa pasukan-pasukan Bayu pada waktu itu adalah orang-orang yang beragama. Sebagian memeluk agama Hindu dan sebagian lainnya memeluk agama Islam (Ibid. 1923: 1(57) yang secara pasti tidak mungkin akan melakukan kanibalisme.

9). Pada awal tahun 1772 VOC melakukan panggilan umum kepada semua bupati taklukannya di pantai utara Jawa bagian Timur untuk mengirimkan pasukan-pasukannya. Semua tentara Eropa dikonsinyasikan di Blambangan. Setelah pengiriman 2000 orang tentara, pada bulan Agustus 1772 Heinrich tiba di Blambangan dengan 5000 prajurit J.R. Van den Burgh, Gubernur Jawa bagian Timur, datang sendiri ke Blambangan. Sejak pertengahan kedua tahun 1772. Sehubungan dengan gugurnya Pangeran Jagapati dan didatangkan oleh VOC bantuan tentara dan peralatan perang yang luar biasa besar dan lengkap, mulailah terjadi titik balik kekuatan, di mana pejuang-pejuang Bayu kemudian mulai terdesak dan lebih banyak bertahan.
10). Pada tanggal 1 Oktober 1772 Heinrich bergerak dari Via Pangpang ke Bayu. Tanggal 5 0ktober 1772 dia berkemah dan mendirikan perbentengan di Sodong (dekat Songgon sekarang). Vaandrig (Pemb. Letnan) Mierop dan Vaadrig Dijkman dengan 900 orang anak buahnya dengan peralatan berat (meriam) ditempatkan di sayap kanan di atas bukit dengan ketingian yang sama dengan Bayu. Vaandrig-vaandrig Gutten bergen dan Koegel ditempatkan di Sodong dengan 500 orang prajurit, sedang Heinrick sendiri bersiap-siap di sayap kiri. Di Sentong, dengan vaandrig Jeniger dan 1500 orang prajurit, bayu terkepung secara ketat (Ibid. 1923 : 1059).
11). Pada tanggal 11 Oktober 1772 Bayu digempur habis-habisan dengan tembakan-tembakan meriam. Setelah membunyikan alarem palsu dari sayap kanan (dari pos komando Mierop dan Dijkman, agar dikira penyerbuan akan dilakukan dari sayap ini), Heinrich dengan 1500 pasukannya menerobos dan menyerang benteng Bayu dari sayap kiri. Setelah melalui pertempuran sengit, benteng Bayu dapat direbutnya. Namun hanya dengan sedikit korban, karena sebagian dari pejuang-pejuang Bayu telah sempat menyingkir ke hutan. Ternyata benteng Bayu merupakan benteng yang dibangun dengan rapi, lengkap, kuat dan strategis, dan sempat membuat para pemimpin militer VOC menjadi terkagum-kagum. Namun oleh Piter Luzak, penguasa VOC untuk Jawa bagian Timur, sisa dari benteng Bayu tersebut diperintahkan untuk dimusnahkan dan diratakan dengan tanah (Ibid. 1923 : 1059).
12). Pejuang-pejuang Bayu yang tertangkap diperintahkan oleh Henrich untuk dibunuh, kepalanya dipotong dan digantung-gantungkan di pohon-pohon atau ditancap-tancapkan di tonggak-tonggak pagar di sepanjang jalan desa. Dan dari jumlah 2.505 orang sisa pejuang Blambangan. Laki dan perempuan yang ditawan dan dibawa ke Pangpang, atas perintah Schophoff tidak sedikit yang dihukum mati dengan menenggelamkannya (dengan pemberat batu) ke laut, disiksa, direjam, dan sebahagiannya dibuang ke Surabaya atau ke Batavia sebagai budak (Ibid. 1923: 1060). Itulah akhir dari sebuah peperangan habis-habisan yang mengerikan, yang telah merenggut ribuan bahkan puluhan ribu kurban, baik difihak musuh dan terutama difihak rakyat Blambangan. Dan inilah gambaran tragis dari taktik politik devide et impera Belanda terhadap kita, karena yang berperang dan menjadi korban dalam peperangan puputan tersebut, hampir seluruhnya adalah bangsa kita sendiri.

3. Hal-hal yang Khas dalam Perang Puputan Bayu
Beberapa hal yang patut dicatat sebagai luar biasa dalam Perang Puputan Bayu ini antara lain:
1. Sebagaimana yang telah dikemukakan didepan, Perang Puputan Bayu ini, yang memuncak pada tanggal 18 Desember 1771, diakui oleh Belanda sendiri sebagai peperangan yang paling menegangkan, paling kejam, dan paling banyak memakan kurban dari semua peperangan yang pernah dilakukan VOC dimanapun di seluruh Indoensia (Ibid. 1923 : 1056).
2. Begilu kejamnya dan penuh dendam peperangan yang terjadi di Bayu tersebut, sampai-sampai apabila ada pasukan VOC yang tertangkap pejuang Blambangan, seperti yang terjadi antara lain pada Letnan Van Schaar, kepalanya dipotong, ditancapkan di ujung tombak, dan diarak keliling desa. Demikian juga sebaliknya, dari hampir semua pejuang Blambangan yang tertangkap di Bayu, kepalanya dipotong dan digantung-gantungkan di pohon-pohon atau ditancap-tancapkan di tonggak-tonggak pagar di sepanjang jalan desa (Ibid . 19123 : 1059). Kiranya sulit untuk dapat kita temukan kekejaman peperangan local seperti yang terjadi di Bayu ini di daerah-daerah lain di Indonesia.
3. Dari sejumlah 2.505 yang sisa pejuang Blambangan yang ditawan dan dibawa ke Pangpang, tidak sedikit yang dihukum mati dengan menenggelamkannya ke laut, disiksa dan direjam sampai mati (Ibid. 1923 : 1060). Suatu hukuman yang lebih bersifat “balas dendam” dari pada sekedar melakukan “hukuman” kepada musuh.
4. Untuk menghadapi Perang Bayu ini VOC telah mengerahkan tidak kurang dari 10.000 personil. (dengan peralatan lengkap dan senjata berat) yang didatangkan dari seluruh Jawa: dari garnisun-garnisun Batavia. Semarang (Korp Dragonders), Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Madura dan dari daerah-daerah pantai utara Jawa bagian Timur (Ibid. 1923: 1057-1059). Suatu jumlah yang yang luar biasa besar menurut keadaan pada waktu itu.
5. Peperangan di Bayu ini telah memakan kurban tidak kurang 60.000 rakyat Blambangan yang gugur, hilang, atau menyingkir ke hutan (Epp. 1849 : 347). Tampaknya jumlah ini “tidak begitu besar” kalau dilihat dari hitungan jumlah penduduk Kabupaten Banyuwangi pada waktu ini. Namun perlulah diketahui bahwa jumlah penduduk seluruh Blambangan pada waklu itu tidak sampai 65.000 orang..!   J.C . Bosch. seorang pejabat Pemerintahan Belanda pernah menulis dari Bondowoso pada tahun 1848,” … daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang satu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali … ” (Anderson, 1982: 75 – 76).
6. Untuk merebut Blambangan, khususnya untuk peperangan di Bayu ini, VOC telah menghabiskan dana seharga 8 (delapan) ton emas yang merupakan pukulan telak terhadap keuangan VOC pada waktu itu. Pimpinan VOC di Batavia kemudian menghitungnya sebagai “tidak sumbut”, tidak sesuai dengan kemungkinan apa yang dapat diperoleh sebagai imbalan dari Blambangan (Op. cit. 1823 : 1067).
7. Perang Puputan Bayu menang berakhir pada tanggal 11 Oktober 1772, namun perlawanan rakyat dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan local masih terjadi di berbagai daerah di Blambangan sampai berpuluh tahun kemudian (1810), yang dipimpin oleh sisa-sisa pasukan Bayu yang membandel dan pantang menyerah, yang oleh orang-orang Belanda dikatakan sebagai orang-orang Bayu yang “liar” (Lekkerkerker, 1926 : 401-402)”

4. PENUTUP
Perang Puputan Bayu seperti halnya Perang Kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah memberikan pelajaran kepada kita, betapa mahalnya arti sebuah kemerdekaan bagi suatu bangsa, yang sering harus direbut dan dipertahankan dengan apapun yang ada pada kita, harta benda, keluarga, bahkan darah dan jiwa. Bersyukurlah kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berbanggalah kita kepada Indonesia, karena itu, Blambangan telah pernah menunjukkan dalam sejarah bahwa kita bukanlah rakyat yang “gampangan” untuk menyerahkan kemerdekaan dan harga diri kita kepada penjajah. Semoga anak cucu kita akan selalu mengenal, mengenang, dan mengambil suri tauladan dari sejarah Leluhurnya.

 Jayalah Bumi Blambangan!  

—————————————————————————————— 

Banyuwangi, 24 April 1995 

Materi di atas dinukil dari Majalah Gema Blambangan, edisi khusus (076-077), 1997. Koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur         

Comments


Leave a Reply