Sunday, November 3, 2024
Semua Tentang Jawa Timur


Upacara Siraman Gong Kyai Pradah

Oleh: Drs. Hengky Ismuhendro Setiawan Dra. Foriyani Subiyatningsih 1. Nama Upacara dan Tahap-tahapnya Upacara Siraman Kyai Pradah adalah upacara tradisional…

By Pusaka Jawatimuran , in Seni Budaya , at 09/09/2011 Tag: , , ,

Oleh: Drs. Hengky Ismuhendro Setiawan
Dra. Foriyani Subiyatningsih

1. Nama Upacara dan Tahap-tahapnya
Upacara Siraman Kyai Pradah adalah upacara tradisional yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kecamatan Sutojayan, Wilayah Pembantu Bupati Lodoyo, Kabupaten Blitar. Upacara ini diadakan dua kali setahun, yaitu setiap tanggal 12 Rabiul Awal dan l Syawal.

Ditinjau dari asal katanya, kata siraman berasal dari kata siram (bahasa Jawa) berarti ‘mengguyur dengan air, dan pada peristiwa tertentu yang bersifat luar biasa dilakukan dengan menggunakan minyak atau zat cair lainnya’. Dalam bahasa Indonesia, kata siram berarti ‘mandi’, siraman ‘berarti upacara memandikan pusaka’. Adapun Kyai Pradah adalah sebutan sebuah gong yang dikeramatkan masyarakat Lodoyo sebagai benda pusaka.

Jadi yang dimaksud dengan siraman Kyai Pradah adalah kegiatan memandikan benda pusaka berupa sebuah gong dengan menggunakan air kembang setaman.

Mengenai riwayat gong tersebut sampai sekarang belum diperoleh sumber data yang pasti, hanya dari cikal bakal daerah Lodoyo dan tutur kelantur di masyarakat diperoleh gambaran sebagai berikut: Ada yang mengatakan bahwa Kyai Pradah dibuat oleh Sunan Rawu, kembaran Kyai Becak, pusaka R.M. Said atau Pangeran Mangkunegoro I.

Ada pula yang mengatakan bahwa Kyai Pradah berasal dari Adipati Terung, kembaran dari tongkat sakti Tikus Jinodo yang diberi nama Kyai Macan, yang diturunkan kepada Kyai Pengging sebagai kembaran Bende Udan Arum. Kyai Macan tersebut kemudian dipinjam oleh Sunan Kudus sebagai tengoro bagi lasykar Demak sewaktu menyerang kerajaan Majapahit.

Menurut Kyai Solikodin, Kepala Desa Babadan yang meninggal pada tahun 1955, Kyai Macan sudah berada di Lodoyo tahun 1926. Dikatakan pula bahwa Kyai Macam memang buatan Sunan Kudus sendiri yang dibuat lebih dahulu daripada gamelan Sahadatin.

Pelacakan oleh Bupati Blitar dan Asisten Kediri pada tahun 1927, mengenai riwayat Kyai Pradah, diperoleh informasi sebagai berikut: Sewaktu tentara Demak akan menggempur kerajaan Majapahit, Sunan Kudus mengikuti dari belakang sambil membawa bende Kyai Macan. Berhubung pasukan tentara Demak lebih kecil bila dibandingkan dengan pasukan tentara Majapahit, maka pasukan tentara Demak kemudian berpencar. Pada saat itu, wilayah sekitar Majapahit masih berupa hutan, sehingga ketika Kyai Macan dipukul, suaranya yang menyerupai harimau menggaum memantul ke segala penjuru. Mendengar suara itu, tentara Majapahit mengira tentara Demak mengerahkan harimau siluman. Banyak di antara mereka ketakutan dan meninggalkan pos penjagaan. Hal itu justru memudahkan tentara Demak masuk ke dalam kota Majapahit dan mendudukinya. Sesudah kerajaan Majapahit roboh, berdirilah kerajaan Demak. Kyai Macan kemudian dijadikan pusaka Demak disatukan dengan gamelan Sahadatin. Sejak itu, Kyai Macan berpindah-pindah menjadi pusaka Pajang dan Kartosuro.

Menurut cerita, Sunan Paku Buwono I mempunyai seorang putra dari garwo ampeyan bernama Pangeran Prabu. Sewaktu garwo padmi belum berputra, Pangeran Prabu dijanjikan akan diangkat menjadi raja sebagai pengganti dirinya. Namun, ternyata garwo padmi melahirkan seorang putra laki-laki. Agar tidak menimbulkan perang saudara, Pangeran Prabu disuruh pergi ke hutan Lodoyo untuk babad mendirikan kerajaan. Saat itu, hutan Lodoyo terkenal wingit, maka Pangeran Prabu diberi gong Kyai Macan sebagai tumbal. Pangeran Prabu bersama-sarna isterinya, Putri Wandansari, kemudian berangkat babad disertai beberapa abdi. Sebenarnya Sunan Paku Buwono I berbuat demikian itu bukan bermaksud agar Pangeran Prabu berhasil mendirikan kerajaan, melainkan agar Pageran Prabu mengalami kehancuran dari godaan jin. Dilain pihak, Pangeran Prabu sendiri sebenarnya juga tidak ingin mendirikan kerajaan karena beliau sesungguhnya seorang ulama besar. Pangeran Prabu dapat menangkap maksud Sunan Paku Buwono I terhadap dirinya. Sehingga untuk menghilangkan jejaknya, beliau berpindah-pindah tempat tinggalnya. Setiap menempati lokasi baru, beliau mengadakan pengajian. Pangeran Prabu kemudian mendirikan pondok. Pondok Pangeran Prabu atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Panembahan Imam Sampurna, semakin lama bertambah banyak muridnya. Keberhasilan itu akhirnya terdengar oleh Adipati Srengat yang bernama Pangeran Martodiningrat, maka segera dilaporkan ke Kartosuro karena dikhawatirkan Pangeran Prabu akan mendirikan kerajaan. Kartosuro pun kemudian mengirim tentaranya dibantu oleh kompeni Belanda. Pangeran Prabu atau Panembahan Imam Sampurno mengetahui hal itu lalu bersembunyi di hutan Kedung Bunder dan berganti nama menjadi Mbah Tjingkrang. Kata Tjingkrang mengandung arti ’maksud beliau belum tercapai’. Mbah Tjingrang akhirnya menetap di Kedung Bunder sampai akhir hayatnya. Makam Mbah Tjingkrang pun akhirnya menjadi punden keramat.

Kembali kepada gong Kyai Macan yang disertakan Pangeran Prabu pada waktu hendak babad, karena tempat tinggalnya berpindah-pindah, Kyai Macan kemudian dititipkan pada Nyi Partosoeto dengan pesan agar setiap tanggal 12 Rabiul Awal dan 1 Syawal disiram dengan air kembang setaman dan diborehi. Dikatakan pula bahwa air bekas siraman Kyai Macan dapat dipakai untuk menyembuhkan orang sakit. Setelah Nyi Partosoeto meninggal dunia, Kyai Macan disimpan oleh Ki Rediboyo, lalu tumurun ke Kyai Rediguno, dan tumurun lagi ke Ki Imam Setjo, yang bertempat tinggal di Dukuh Kepek, Ngeni. Ketika disimpan Ki Imam Setjo, terjadi kejadian yang agak ganjil mengenai jiwa penduduk. Setiap ada anak lahir pasti ada orang yang meninggal dunia. Di tengah suasana. yang demikian itu, ada seseorang bermimpi agar anaknya terhindar dari serangan penyakit, maka ia harus nyekar ke Kyai Macan. Saran dalam impian itupun dilaksanakan dan ternyata berhasil. Tindakan itu kemudian banyak diikuti hingga tersiar sampai ke tempat yang jauh. Semakin lama semakin banyak orang meminta berkah kepada Kyai Macan. Karena kebaikannya itu, Kyai Macan kemudian diberi nama Kyai Pradah.

Setelah Lodoyo bagian dataran rendah ramai, oleh Pemerintah Kartosuro dibentuk pemerintahan rendah dengan pimpinan berpangkat Aris/Ronggo. Aris yang pertama kali ditempatkan di Sukoanyar bernama Djindoyo/Djigangdoyo. Kyai Pradah yang disimpan oleh Ki Imam Setjo kemudian diserahkan ke Sukoanyar dan dijadikan pusaka daerah. Sesudah Lodoyo dikuasai Gubernur Belanda disertai penempatan seorang wedono, maka Kyai Pradah diserahkan kepada Wedono Lodoyo. Wedono Lodoyo yang pertama kali adalah R. Prawirohardjo.

Secara keseluruhan acara dalam upacara siraman ini dapatdiklasifikasi menjadi tiga tahap:
a. Tahap persiapan,meliputi acara pembentukan panitia, menghias tempat upacara, memotong kambing sesaji, dan membuat sesaji.
b. Tahap pelaksanaan,meliputi acara tirakatan, selamatan, ziarah, dan siraman.
c. Tahap penutupan, meliputi acara selamatan, hiburan, sepasaran, dan selapanan.

2. Maksud dan Tujuan Upacara
Upacara siraman Kyai Pradah dimaksudkan sebagai sarana memohon berkah kepada kekuatan gaib atau roh leluhur yang ada di dalam Kyai Pradah. Mereka percaya bahwa air bekas siraman Kyai Pradah dapat membuat awet muda dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Di samping itu saat upacara merupakan saat paling baik untuk membeli alat-alat pertanian karena dengan memakai alat yang dibeli saat upacara akan mendatangkan kesuburan dan tanaman akan terbebas dari hama. Demikian pula bagi para pedagang. Mereka banyak yang datang dari luar kota Lodoyo untuk ngalap berkah. Mereka percaya meskipun pada saat upacara, dagangan tidak banyak terjual, tetapi setelah upacara berakhir, dagangan akan mudah terjual. Pada musim kemarau, siraman ini juga sebagai sarana memohon turun hujan.

Untuk masa sekarang upacara lebih dimaksudkan sebagai usaha melestarikan budaya bangsa, dimana upacara siraman Kyai Pradah merupakan naluri masyarakat Lodoyo turun-temurun yang tidak dapat dihapus begitu saja karena sudah mendarah daging.

3. Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara siraman Kyai Pradah dilaksanakan dua kali setahun, yaitu setiap tanggal 12 Robiul Awal bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad dan tanggal 1 Syawal bertepatan dengan hari Raya Idul Fitri. Khusus penyelenggaraan tanggal 12 Robiul Awal upacara diadakan secara besar-besaran, sedangkan upacara yang diadakan pada tanggal 1 Syawal dilaksanakan secara sederhana oleh petugas yang berkepentingan saja.

Upacara siraman berlangsung dua hari. Sehari menjelang acara puncak kurang lebih pukul 14.00 WIB dimulailah acara menghias tempat upacara, dilanjutkan dengan pemotongan kambing sesaji, serta pembuatan sesaji. Sedangkan pembentukan panitia sudah diadakan lima belas hari sebelumnya.

Masih dalam satu rangkaian waktu, pukul 19.00 WIB dilaksanakan tirakatan sampai pukul 04.00 WIB keesokan harinya. Namun, ditengah acara tirakatan yaitu pukul 24.00 WIB acara dihentikan sejenak untuk melaksanakan selamatan.

Pagi harinya pukul 07.30 WIB acara dilanjutkan dengan berziarah ke Dukuh Dadapan. Barulah pada pukul 11.00 WIB puncak acara siraman dilaksanakan. Seusai siraman dilanjutkan dengan selamatan dan hiburan. Hiburan berakhir bersama selesainya pagelaran ringgit purwo yang diselenggarakan pada malam hari tanggal 12 Rabiul Awal.

Sebagai penutup upacara siraman Kyai Pradah setelah lima hari diadakan selamatan sepasaran serta selamatan selapanan pada hari ke-35 dari saat siraman.

4.Tempat Penyelenggaraan Upacara
Pelaksanaan upacara siraman Kyai Pradah dipusatkan di alun-alun Kawedanan Lodoyo kecuali ziarah. Di lokasi tersebut perlengkapan upacara telah dipersiapkan secara permanen, yaitu: panggung siraman setinggi tiga meter dengan luas kurang lebih enam belas meter persegi, dan sanggar penyimpanan, serta pendopo kawedanan.

Sanggar penyimpanan adalah tempat penyimpanan Kyai Pradah beserta kenong dan wayang krucil, tempat dimana para pengunjung menyampaikan hajadnya pada hari-hari biasa. Pada saat upacara, sanggar penyimpanan digunakan untuk tirakatan dan selamatan.

Adapun panggung siraman adalah tempat untuk melaksanakan acara puncak yaitu siraman gong Kyai Pradah; pendopo kawedanan pada saat upacara digunakan sebagai tempat duduk para undangan, acara selamatan, dan tempat hiburan. Ziarah dilakukan di patilasan yang terletak di Dukuh Dadapan, Kecamatan Sutojayan.

5. Penyelenggara Teknis Upacara
Penyelenggaraan upacara siraman pada mulanya dilakukan secara spontan oleh warga masyarakat dengan dikoordinasi para kepala desa di Kecamatan Sutojayan. Namun sekarang penyelenggaraan upacara dikoordinasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Blitar. Tokoh-tokoh yang berperan sebagai penyelenggara teknis upacara adalah sebagai berikut.
a. Pejabat Pemerintah. Pada upaeara yang dilaksanakan pada tanggal 12 Robiul Awal sebagai penanggung jawab formal pelaksana upacara adalah Bupati Blitar, sedangkan pada upaeara 1 Syawal tokoh yang berperan adalah Pembantu Bupati Lodoyo.
b. Juru kunci, yaitu juru kunci petilasan dan juru kunci Kyai Pradah.
c. Para dhalang yang bertempat tinggal di Lodoyo, bertugas membawa kenong dan wayang krucil.
d. Petugas pembawa panji-panji Kawedanan Lodoyo dan payung
e. Pemain kesenian tradisional.
f. Pemasak sesaji.

6. Jalannya Upacara menurut Tahap-tahapnya

Sehari sebelum saat siraman, yaitu tanggal 11 Rabiul Awal pukul 14.00 WIB, sanggar penyimpanan, panggung siraman, serta tempat penyembelihan kambing sesaji dihias dengan janur sehingga suasana terasa lebih meriah dan bernuansakan kemagisreligiusan. Hanya, khusus panggung siraman selain dihias dengan janur juga dipasang untaian daun beringin, andong, puring, serta daun langsuran.

Setelah acara menghias selesai dilanjutkan dengan pemotongan kambing sesaji. Kambing sesaji ini hanya satu ekor. Itupun hanya diambil kepala dan jerohannya saja. Kepala dan jerohan kemudian dibungkus dengan kain mori untuk dijadikan sesaji ziarah.

Selesai pemotongan kambing sesaji dilanjutkan pembuatan sesaji. Pembuatan sesaji dilakukan oleh para ibu yang sudah tidak menstruasi, dengan dikoordinasi juru kunci Kyai Pradah. Sesaji dalam sebuah upacara memegang peranan penting karena kelengkapan sesaji menentukan keberhasilan upacara religius. Sesaji yang kurang lengkap dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sesaji yang dipersiapkan dalam upacara ini adalah sesaji untuk sanggar penyimpanan, sesaji selamatan, sesaji ziarah, dan sesaji siraman.

Tanggal 11 Rabiul Awal kurang lebih pukul 19.00 WIB, di halaman sanggar penyimpanan diadakan malam tirakatan. Di malam tirakatan inilah para pengunjung menyampaikan hajadnya melalui juru kunci Kyai Pradah. Setelah ujub disampaikan, mereka yang berhajad diambilkan bunga telon yang ditaburkan di atas Kyai Pradah. Bunga tersebut oleh yang berhajad dibawa pulang, disimpan sebagai jimat.

Malam tirakatan diisi dengan berjanjen yaitu pembacaan puji-pujian yang berisi doa terhadap Tuhan diiringi instrumen jedhoran. Malam tirakatan banyak diikuti pengunjung yang sengaja datang bertirakat, mengunjungi pasar malam, atau mereka yang berusaha mencari tempat strategis untuk saat puncak acaranya. Tengah malam pukul 24.00 WIB berjanjen dihentikan sebentar untuk melakukan selamatan. Selamatan dipimpin oleh juru kunci Kyai Pradah. Sesaji selamatan adalah berupa nasi gurih dengan lauk ingkung yang disebut sekul suci ulam sari atau nasi girih iwak lado. Sesaji selamatan ini selain disediakan oleh penyelenggara, banyak pula dibawa oleh pengunjung yang berhajad. Setelah diujubi, sesaji tersebut dimakan bersama-sama. Selesai selamatan, tirakatan dilanjutkan lagi sampai keesokan harinya kurang lebih pukul 04.00 WIB.

Keesokan harinya setelah tirakatan berakhir, sebagian pengunjung ada yang pulang untuk sholat subuh. Banyak juga pengunjung yang tetap tinggal di tempat menanti acara berikutnya, berziarah ke petilasan di dukuh Dadapan.

Pukul 07.30 WIB tanggal 12 Rabiul Awal, pintu sanggar penyimpanan dibuka. Payung, pedupaan, sesaji ziarah dikeluarkan untuk dibawa ke petilasan. Sesaji yang berupa kepala kambing dan jerohan digendong oleh juru kunci dengan dipayungi oleh petugas diiringi barisan pengiring menuju ke petilasan. Mereka adalah rombongan kesenian tradisional kuda lumping Dadak Merak, kesenian Jedhoran, para dhalang, para kepala desa para perabot desa seluruh Kawedanan Lodoyo, dan sebagian besar pengunjung serta emban ceti yang membantu membawa sesaji ziarah lainnya.

Jarak dari alun-alun menuju petilasan kurang lebih satu kilometer. Petilasan ini berupa bangunan-bangunan permanen berbentuk cungkup (menyerupai rumah berukuran kecil dengan luas kurang lebih tiga meter persegi). Sesampainya di petilasan, sesaji diberikan kepada juru kunci petilasan. Sesaji yang berupa kepala dan jerohan tadi kemudian ditanam oleh juru kunci Kyai Pradah serta ditaburi dengan bunga tabur. Sesaji yang ditanam di petilasan itu dimaksudkan sebagai tumbal, berkaitan dengan hilangnya Kyai Pradah pada tahun 1907.

Gong Kyai Pradah dicuri oleh seseorang yang sedang terganggu Jiwanya. Orang tersebut bernama Mukimin. Menurut Mukimin, ia merasa diperintah memindahkan tempat penyimpanan Kyai Pradah karena sanggar penyimpanannya terancam bau yang ditimbulkan oleh asap pembakaran beribu-ribu ekor tikus yang ditangkap penduduk. Setelah Kyai Pradah diambil kemudian dimandikan di sungai Brantas. Bupati Blitar dilapori tentang hilangnya kyai Pradah segera memerintahkan beratus-ratus petugas untuk mencarinya. Tepat pukul 11.00 WIB, Kyai Pradah ditemukan. Mukiminpun ditangkap. Selanjutnya, saat ditemukannya kembali Kyai Pradah ditetapkan sebagai saat siraman, sedangkan dukuh Dadapan sebagai tempat ditemukannya kembali Kyai Pradah dijadikan sebagai petilasannya.

Seusai penanaman, barisan kembali ke alun-alun dengan posisi seperti ketika berangkat menuju petilasan. Tepat pukul 11.00 WIB siraman Kyai Pradah dimulai.

Bapak Pembantu Bupati, Bapak Camat Sutojayan, juru kunci Kyai Pradah dari halaman pendopo Pembantu Bupati berjalan menuju sanggar penyimpanan bersiap-siap membawa Kyai Pradah yang akan disirami. Barisan berjalan .mengelilingi alun-alun Lodoyo dengan urut-urutan sebagai berikut. Paling depan dalam barisan tersebut adalah kesenian jaranan Dadak Merak, menyusul kemudian rombongan instrumen jedhoran, tim pembawa panji-panji Pembantu Bupati Lodoyo, pembawa padupaan, juru kunci Kyai Pradah yang menggendong Kyai Pradah di atas dadanya dengan dipayungi dua orang petugas pembawa payung, para dhalang serta emban ceti, serta paling ujung barisan adalah rombongan kesenian tradisional lainnya,

Setelah barisan sampai di depan pendopo, kemudian Bapak Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Blitar yang telah menunggu di depan pendopo menyusup ke dalam iringan barisan menuju panggung siraman.

Sesampainya di panggung siraman, Kyai Pradah digantungkan pada tempat yang telah disiapkan di tengah-tengah panggung. Di bawah gantungan tersebut diletakkan bak air untuk menampung air bekas siraman. Kain pembungkus pun dilepaskan.

Siraman dimulai dengan pembacaan riwayat Kyai Pradah oleh Bapak Bupati yang diwakilkan pada salah satu petugas. Pembacaan dilakukan dengan mikrofon sehingga para pengunjung mendengar dengan jelas.

Selesai pembacaan riwayat dimulailah puncak acara siraman. Siraman pertama kali dilakukan oleh Bapak Bupati, dilanjutkan Bapak Pembantu Bupati, pejabat Muspika, juru kunci dan para dhalang. Kyai Pradah kemudian digosok-gosok dengan kembang setaman agar hilang karatarinya. Kembang setaman kemudian dipercik-percikkan ketujuh tempayan yang telah diisi air.

Setelah Kyai Pradah selesai disirami, maka Bapak Bupati segera mengguyurkan air yang ditempayam ke para pengunjung yang berdesak-desakan di bawah panggung siraman sampai habis. Demikian halnya yang di at as panggung pun saling berebut mendapatkan air bekas siraman.

Selain Kyai Pradah, di dalam upacara siraman dimandikan pula empat buah wayang krucil dan dua buah kenong. Selesai disirami, Kyai Pradah beserta kenong dan wayang krucil dikeringkan dengan lap khusus.

Sampailah saat yang dinanti-nantikan, Kyai Pradah pun ditabuh oleh Bapak Bupati diperdengarkan kepada pengunjung. Setiap kali mepabuh, Bapak Bupati bertanya: “Kados pundi suantenipun ?” dijawab para pengunjung “sae”, yang dalam bahasa Indonesianya : “Bagaimana suaranya?” dijawab “bagus” . Demikian itu dilakukan tuju kali berturut-turut. Menurut kepercayaan, apabila bunyi Kyai Pradah mengaung-ngaung bergema ke segala penjuru, dianggap sebagai pertanda bahwa upacara berjalan sempurna. Masyarakat boleh berharap berkah akan melimpah di dalam kehidupan mereka, sehingga dapat tenang hidupnya. Namun, apabila terdengar bunyinya tersendat-sendat, maka masyarakat menjadi tidak tenteram, karena akan datang saat sial atau keadaan yang tidak menyenangkan kehidupan mereka.

Sesudah Kyai Pradah diperdengarkan suaranya kemudian diberi boreh. Demikian juga wayang krucil dan kenongnya. Kyai Pradah pun dibungkus kembali dengan kain mori putih yang masih baru. Dengan digendong juru kunci dan iringiringan seperti ketika menuju panggung siraman, Kyai Pradah dibawa kembali menuju sanggar penyimpanan. Tepat di depan pendopo, Bapak Bupati keluar dari barisan. Kyai Pradah disemayamkan kembali dengan posisi mendatar. Demikian pula wayang krucil dan kenong dimasukan ke dalam tempatnya semula. Kyai Pradah kemudian ditaburi dengan bunga tabur dan pintu sanggar penyimpan ditutup kembali.

Kyai Pradah disemayamkan, diadakan lagi selamatan sebagai ungkapan syukur karena pacara telah berjalan dengan lancar. Seperti asalnya pada selamatan tirakatan, pada selamatan kali inipun para pengunjung berusaha mendapat sesaji untuk dijadikan jimat atau obat jika ada anggota keluarganya yang sakit.

Upacara Siraman Kyai Pradah diakhiri dengan hiburan berupa tari gambyong, tari tayub, dan ringgit purwo pada malam harinya. Hiburan ini tidak ada batasan waktunya, hanya mengingat penyelenggara sebagian besar bekerja di instansi pemerintah, maka hiburan dibatasi waktunya. Meskipun begitu, para pengunjung tidak berkecil hati. Mereka tetap menunggu dimulainya hiburan ringgit purwo yang berakhir pada keesokan harinya.

Dengan berakhirnya acara hiburan maka berakhir pulalah rangkaian upacara siraman Kyai Pradah, walaupun sebenarnya masih ada acara selanjutnya, yaitu selamatan selapanan dan selamatan sepasaran yang dilakukan secara sederhana dan terbatas pesertanya.

$$$$$$$$$$$$$$$$

sari wartaArtikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:  Sari Warta: Kesejahteraan dan Nilai Tradisional, edisi 1, Agustus 1994. Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Jawa Timur, Bidang Sejarah dan Nilai Trasional

Comments


Leave a Reply